5. Calon Kolega? [Revisi]

43 9 2
                                        


Siang itu terik, dan makin terik ketika Bu Rita datang tergesa-gesa ke perpustakaan, membawa selembar kertas dengan wajah yang sama sekali tak ramah.

Tanpa basa-basi, ia menghampiri meja Niko dan—PLAK!—membanting kertas itu tepat di hadapannya.

"Apa maksudnya ini?!" bentaknya dengan nada tinggi.

Niko, yang tadinya sedang asyik membaca, meneguk ludah. Ia melirik kertas itu dengan takut-takut.

"I-Itu... kertas?" tanyanya, mencoba mencari celah untuk menghindar.

"Aku tahu ini kertas!" Bu Rita mendengus kesal. Ia meraih kertas itu dan mengangkatnya tepat di depan wajah Niko. "Ini essay sejarahmu, kan?!"

"Iya...?" Niko makin gelisah. "Memangnya ada masalah?"

"Kau yang masalah!" Bu Rita melempar essay itu ke arah Niko. "Tulis yang benar! Aku gak mau denger guru sejarahmu komplain soal murid kurang ajarku!"

Niko menghela napas dan menatap essay yang tergeletak di mejanya.

"Hmm... oh, ini soal tulisanku yang kurang rapi, ya?" tebaknya santai.

Bu Rita menepuk jidatnya, frustrasi. "Kau buta, ya?! Baca! Coba tengok apa yang udah kau tulis!"

Kouko, yang duduk di sebelah Niko, awalnya tidak begitu peduli. Namun, rasa penasaran mulai menggelitiknya. Ia melirik essay yang Niko buat, membaca sekilas, lalu langsung paham mengapa Bu Rita meluap-luap seperti itu.

Di dalamnya, bukannya menjelaskan materi sejarah dengan baik, Niko justru menulis kalimat satir yang jelas-jelas menyinggung perasaan guru sejarah mereka.

"Sebaiknya tulis yang betul," tegur Kouko datar.

"T-tapi..."

"Gak ada tapi-tapian! Pilih nulis essay atau nulis surat permintaan maaf, plus klarifikasi?"

"Ok fine! Ibu itu aja yang gampang baperan!" Niko langsung memperbaiki essay-nya saat itu juga. "Sepuluh menit!"

"Kurang ajar kowe! Yaudah cepat, ibu tunggu!" Bu Rita duduk di atas meja Kouko sembari mengeluarkan ponselnya. Matanya berbinar jahil sebelum terkekeh kecil. "Hahaha... hei Dheiman, kau tau akun Instagram nicopon21_?"

Niko terperanjat. Ia menoleh dengan ekspresi kaku, namun berusaha tetap santai. "Eng-enggak, enggak tau."

"Serius? Tapi unggahannya mirip sama yang kau tulis di essay, loh."

"Mana aku tahu! Pokoknya itu bukan aku, titik!" tegas Niko gelisah.

Kouko, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya menepuk pundak Bu Rita.

Bu Rita menoleh. "Ada apa, pirang? Mau tanya sesuatu?"

"Iya. Ngomong-ngomong, apa itu Instagram?"

"Hah?" Bu Rita membelalak. "Serius? Kamu gak tahu?"

Kouko menggelengkan kepala. "Tidak. Saya tidak punya ponsel."

"Ngibul banget nih anak," gumam Bu Rita pelan. "Kalau gitu, ibu minta nom—"

"Dia serius, tuh." potong Niko cepat.

"Oh? Gitu rupanya," Bu Rita kembali melirik Kouko. "Kenapa? Ayahmu tidak mengizinkan?"

Kouko menggeleng lagi. "Aku tidak perlu ponsel."

Bu Rita terdiam.

Ini zaman modern. Internet sudah jadi pilar penting kehidupan. Tapi anak pirang ini... malah tidak memerlukannya?

Forbidden Book [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang