9 | Luka Mereka

27 17 48
                                    

Rida—ibunda Danu—melangkah keluar rumah dengan langkah perlahan, hendak menuju warung kecil di seberang jalan. Kompleks perumahan tempatnya tinggal tampak sunyi di bawah naungan malam. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya redup, menerpa aspal yang masih sedikit lembab setelah hujan sore tadi. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran.

Suasana terasa damai, hingga sebuah suara lembut memecah kesunyian.

“Bunda….”

Langkah Rida terhenti. Ia menoleh dan mendapati Zia berdiri di halaman rumah, bibirnya sedikit manyun seperti anak kecil yang tengah mengadu. Matanya yang sembab jelas menunjukkan bahwa gadis itu baru saja menangis. Tanpa ragu, Zia melangkah maju dan merengkuh tubuh wanita itu dalam pelukan erat, seolah berusaha mencari kehangatan yang hilang.

Rida terdiam sejenak sebelum akhirnya membalas pelukan itu dengan lembut. Tangannya terangkat, mengelus rambut panjang Zia dengan penuh kasih.

"Kangen sama Ibu, ya?" tanyanya lirih.

Zia hanya mengangguk kecil, tapi isakannya justru semakin keras. Rida menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Zia menangis dalam pelukannya seperti ini. Sejak kepergian sang ibu sembilan tahun lalu, gadis itu selalu mencari pelipur lara dalam dekapannya.

Perlahan, tangis Zia mulai mereda. Ia menarik napas panjang sebelum melepas pelukan dan menatap Rida dengan senyum tipis.

"Maaf, ya, Bun, bajunya jadi basah gara-gara Zia."

Rida tersenyum, lalu mengelus pipi gadis itu dengan lembut. "Enggak apa-apa, Sayang."

"Bunda, makasih ya, udah selalu ada buat Zia. Kalau enggak ada Bunda, Zia enggak tahu harus ke siapa buat mengobati rindu ini."

Mata Rida sedikit berkaca-kaca. Ia kembali menarik Zia dalam pelukan, menyalurkan kehangatan yang gadis itu butuhkan. Dalam hati, ia terus berdoa agar Zia bisa berdamai dengan masa lalunya, agar Tuhan senantiasa menguatkan hatinya. Ia sudah terlalu sering menyaksikan luka yang menggores gadis itu, dan setiap air mata yang jatuh dari pelupuk mata Zia selalu terasa seperti pedang yang mengiris hatinya sendiri.

Beberapa saat kemudian, Rida melepas pelukan dan menatap Zia dengan penuh perhatian. "Kamu sudah makan?"

Zia menggeleng pelan.

"Ya udah, masuk sana. Di dalam ada Danu."

Tanpa banyak bicara, Zia menurut. Ia melangkah masuk ke rumah, meninggalkan Rida yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu mendongak ke langit malam yang bertabur bintang. Matanya tertuju pada satu bintang paling terang di antara semuanya. Entah kenapa, ia merasa bintang itu adalah Azura—ibu kandung Zia.

Rida tersenyum tipis. Ada sorot tulus di matanya, tapi juga terselip keraguan yang menyesakkan dada.

"Aku pasti jagain Zia, tapi…" Ucapannya menggantung di udara.

Ingatan tentang pesan terakhir Azura kembali berputar dalam benaknya.

"Sampai kapan aku harus menyembunyikan rahasia ini?"

Seorang gadis meringkuk kala kesedihan di dalam mimpi buruknya datang lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seorang gadis meringkuk kala kesedihan di dalam mimpi buruknya datang lagi. Hal yang paling disesali seumur hidupnya itu terulang dalam ingatan. Kejadian yang mengiris hatinya tanpa henti hingga saat ini. 

Saat terbangun, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Dadanya terasa sesak, tenggorokan terasa tercekat saat teringat akan setiap detik kejadian itu. Ia membenci dirinya, hidupnya, dan juga membenci Tuhan.

Jam digital di dalam kamar gelap itu sudah menunjukan pukul dua dini hari, tetapi matanya tidak juga kembali terpejam. Ia hanya ingin melupakan setiap kejadian itu. Namun, sayangnya kejadian itu terus terulang jelas dari awal hingga akhir bak sebuah film yang berputar tanpa diperintah. 

Tangisnya pecah malam itu juga. Gelap yang tadi menyelimuti tak juga membuatnya merasa tenang. Ia bangkit dari posisinya, mengambil kunci mobil, dan bergerak cepat keluar rumah. Ia tidak ingin berada di dalam sana karena benci dengan kesendirian.

Gadis itu ingin pergi ke mana pun asalkan tidak berada di rumah. Ia tak peduli dengan malam yang semakin larut, tak peduli dengan kesunyian jalan yang akan dilihat sebentar lagi. Ia hanya ingin lari dari kenyataan yang menyiksanya setiap saat.

Tidak hanya Zia, Ayumi bahkan memiliki masa lalu yang tak kalah kelam. Mobil milik gadis itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Karena yang ada dalam otaknya adalah mengakhiri hidup malam itu juga.

Ayumi sudah begitu tersiksa hanya dengan teringat akan kejadian itu. Namun, seketika ia mengurungkan niatnya saat melihat taman kota yang sepi. Ia memutuskan untuk berhenti di sana dan duduk meratapi kesedihan di tempat itu.

Dengan langkah berat, akhirnya Ayumi berjalan ke arah taman. Matanya sudah bengkak akibat air mata yang tak henti-henti mengalir.

"Kenapa hidup gue harus semenyedihkan ini?!" teriak Ayumi sambil menatap langit.

"Kenapa harus gue?"

Ayumi kini tak bisa menahan suaranya agar tidak terisak. Ia menangis sejadi-jadinya di tempat itu. "Ambil aja nyawa gue sekalian! Jangan siksa gue secara perlahan kayak gini!"

Tepat setelah mengatakan itu, langit di atas menggelegar. Tak lama kemudian, hujan lebat turun setelah petir menunjukkan dirinya.

Seseorang menghampiri Ayumi yang begitu rapuh malam ini. Ia membuka jaket kulit yang dipakai lalu memakaikannya ke tubuh Ayumi sebelum mengangkat tubuh rapuh itu perlahan. 

"Udah, kan, nangisnya? Ayo, kita pulang!" kata laki-laki itu.

"Udah, kan, nangisnya? Ayo, kita pulang!" kata laki-laki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hayoloh

Siapa laki-laki ituu??

Anyway makasih udah baca sampe sini❤️
Luv

3DZia : Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang