Lonceng gereja berbunyi, aroma bunga mengikuti dari pura dan vihara, indah lantunan adzan keluar dari corong-corong mushalla......
Kala itu, aku terlahir, sebagai manusia berderajat pelayan alam semesta..
Tak peduli bagaimana ringkih kaki terseok, hamba tetap berdiri sigap menjaga nyawa manusia..
Tak peduli bagaimana sesak dada tersengkal, hamba tetap harus merawat tumbuhan untuk tetap bernafas...
Tak peduli bagaimana punggung berdarah-darah!
Tak peduli bagaimana mata memerah!
Tak peduli bagaimana gendang telinga pecah!
Pelayan hanyalah pelayan..
Melayani tuan dan nyonya, walau tubuh lebam dan terluka..
Setetes air terakhir yang ku miliki, akan ku berikan walau aku kehausan..
Sebutir gandum yang ku genggam, lebih baik kau makan, ketimbang tuan-nyonya diambang kematian..
Tak mengapa tuan-nyonya, memang beginilah hamba tercipta, tak kuasa memilih atau merasa..
Aku milik alam semesta, segala hak ku adalah hak alam semesta..
Hamba mengabdi pada-Nya..
Tapi tak apa tuan-nyonya, hamba akan terus meladeni, walau hamba sedang sekarat, walau hamba dibatas kata mati..~Morana
KAMU SEDANG MEMBACA
Retisalya
PoetryAku adalah Morana, tercipta karena derita, lalu tumbuh dengan luka. Ini merupakan Aksara Retisalya, sedari hari ke hari, hingga tahun ke tahun.