A Box of Chocolates

2 0 0
                                    

Aku menekan tombol spasi pada keyboard untuk menjeda film yang sedang kutonton. Ada seutas kalimat menarik yang diucapkan tokoh utama dan itulah alasanku melakukan hal tersebut. Kupandangi cukup lama layar laptop di depan mata, kemudian aku membaringkan tubuh di kasur. Langit-langit kamar tak bersalah terus kuhujani tatapan yang seakan-akan menuntut jawab. Pada saat itu, mataku memang terpaku pada langit-langit itu, tetapi selebar langit di alam semesta, pikiranku pun melayang bebas mengudara berusaha menemukan makna dalam kalimat yang baru saja kubaca.

My Mama always said, "Life is a box of chocolates. You never know what you're gonna get."

Suara Forrest Gump, si tokoh utama dalam film yang kutonton, menggema di kepalaku. Seuntai kalimat itu berbaris rapi memenuhi pikiran. Aku tahu itu bukan sekadar kalimat biasa, aku paham maksudnya, tetapi masih mencoba mencerna. Otakku mengait-ngaitkan kalimat itu dengan apa yang tengah kuhadapi sekarang. Bermacam tafsiran tentangnya menjadi pengantar tidur malam ini. Aku terlelap. Esoknya, kudapati betapa besar makna kalimat itu.

***

Hari baru telah datang dan caraku menyambutnya masih begitu-gitu saja. Usai menyelesaikan aktivitas subuh, kubuka jendela mempersilakan udara suntuk di kamar keluar dan bergantian dengan yang segar. Kurapikan juga tempat tidur, meja belajar, dan apa pun yang ada di kamar. Biasanya, aku akan lanjut menyapu kamar kos yang tidak begitu luas ini, tetapi sekarang kuputuskan untuk bergeming sebentar di sebelah jendela.

Kupikir tidak ada yang spesial tentang pemandangan luar jendela. Pasalnya, kos yang kutempati berada di pemukiman warga. Apa yang kulihat dari jendela, mengarah langsung ke pagar yang tidak terlalu tinggi, sehingga tampak rumah di seberang yang juga digunakan sebagai kos. Tidak ada yang spesial, begitu juga dengan apa yang kulakukan. Aku berdiri dan diam, memikirkan hal-hal yang akan kulakukan hari ini; apakah ada yang menyenangkan atau berjalan seperti biasa.

Pukul 08.00 nanti aku harus berangkat ke kampus karena mata kuliah hari ini akan dimulai pukul 08.30. Jarak antara kos dan kampus sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi aku masih harus mencari sarapan karena bagiku, aku tidak bisa menjalani hari seharian jika tanpa sarapan. Jadi, aku selalu berangkat tiga puluh menit sebelum kelas dimulai supaya masih ada waktu untuk mempersiapkan diri.

Karena hari ini ada dua mata kuliah, kelas akan selesai setelah zuhur. Jika tidak ada perubahan jadwal, berdasarkan kesepakatan aku dan teman-teman satu kelompokku, hari ini kami akan mempersiapkan materi untuk presentasi minggu depan. Kurasa hanya itu jadwal tambahanku. Ya, tidak ada kegiatan spesial hari ini karena setelahnya aku akan pulang dan menghabiskan sisa hari di kos.

Begitulah, aku akan melanjutkan rutinitas pagiku. Bersih-bersih, bersiap, lalu berangkat. Just a normal day in my life.

***

Bisa melanjutkan pendidikan di tingkat sekarang adalah mimpi masa kecil dan kini aku mendapatkannya. Sebelumnya, aku tidak pernah menyangka bisa masuk ke kampus yang bagus dan jurusan yang sesuai dengan impianku. Di satu waktu dari dahulu, aku pernah berpikir kalau apa yang kudapat sekarang ini adalah sesuatu yang hanya bisa kurasakan dalam khayalan sebelum tidur. Namun, nyatanya semua terjadi begitu saja tanpa bisa kutebak "bagaimana bisa"-nya. 

Begitu banyak kejadian yang tidak pernah kusangka bisa terwujud dan terjadi dalam hidupku. Bahkan dalam menjalani kehidupan yang sekarang kadang kala aku masih tidak percaya. Maka, aku ingin banyak bercerita di sini, tentang hal-hal yang menyebabkan mengapa aku setidakpercaya itu dengan apa yang ada di waktu ini. 

Cerita ini kubawa berlari jauh ke belakang, menilik masa lalu, masa di mana aku masih bebas bermimpi dan belum terlalu serius memikirkan apa yang orang sebut "masa depan". Sewaktu aku masih berada di bangku SMP, nilai rendah yang kudapat salah satunya adalah mata pelajaran Bahasa Inggris. Aku sudah berusaha keras dengan pelajaran tersebut, ikut les belajar, tetapi tetap tidak tahu kenapa, tidak ada perubahan baik yang terjadi barang sedikit pun. 

"Ah, mending aku belajar matematika, nilaiku lebih bagus." Ya, pada saat itu nilai tertinggi raporku ada pada mata pelajaran Matematika dan aku pun sempat beberapa kali diikutkan dalam olimpiade. Sampai ujian akhir kelulusan, aku belum membuka hati untuk Bahasa Inggris. Cintaku masih tertinggal di Matematika.

Setelah itu, jenjang pendidikanku naik satu. Aku masuk ke sekolah yang bukan pilihanku sendiri, melainkan saran dari bapak dan ibu. Mulanya aku ikut saja karena kupikir tidak ada salahnya mencoba, tetapi setelah beberapa waktu dijalani, aku mulai merasa ragu dan kurang cocok dengan jurusan yang telah kupilih. Ditambah banyak dari teman-temanku yang merasakan hal serupa. Cukup sulit untuk mengendalikan perasaan itu, karena kalau ingin mengundurkan diri pun syarat yang perlu dipenuhi cukup berat. Jadi, aku berusaha berjalan saja, melakukan tugasku seperti seorang siswa pada umumnya, dan perlahan perasaan ragu itu pudar.

Aku tidak tahu kenapa bisa begitu, tetapi mungkin jalanku dipermudah sebab doa dari bapak dan ibu. Meskipun aku sempat merasa berat di awal, bersyukurnya hal itu tidak bertahan lama. Aku segera menemukan banyak hal-hal seru dan baru, rasa penasaran dan antusias itulah yang menggeser keraguan pada diriku.

Selain itu, kalian tahu apa hal yang tidak pernah kuduga, tetapi terjadi kepadaku? Aku mulai menyukai Bahasa Inggris. Hal yang dulunya kuanggap mustahil, sekarang aku mulai menyelaminya. Tentu tidak serta-merta aku bisa suka, di baliknya ada peran orang-orang hebat yang berhasil membuatku jatuh cinta kepada mata pelajaran ini. Menariknya, selama aku berada di bangku SMA, nilai pada mata pelajaran Bahasa Inggris terus meningkat di setiap semesternya dan melampaui Matematika. Mulai dari situ, aku semakin penasaran dengan Bahasa Inggris dan bertekad serius dengan hal tersebut. Kata orang, masa SMA bukan lagi untuk bercanda.

Tekad itu membawaku pada keputusan yang akan kuambil setelah lulus dari SMA. Aku berusaha memahami minat dan bakat yang ada pada diriku, setelah menemukan yang kurasa cocok dan memang itulah diriku, aku mulai serius untuk mempersiapkan langkah selanjutnya. Dari kecil aku punya mimpi untuk bisa berkuliah, kurasa waktu ini adalah waktunya bersungguh-sungguh untuk berusaha mewujudkan mimpi itu. Kepada ibuku tersayang, aku berterima kasih banyak karena engkau sudah memberiku inspirasi untuk terus dan terus menuntut ilmu setinggi apa pun.

Waktu cepat sekali berjalan, bulan-bulan seleksi masuk perguruan tinggi pun tiba. Aku mendapat kuota untuk bisa mencoba mendaftar melalui jalur rapor karena nilaiku cukup baik. Sempat ada selisih pendapat terkait jurusan yang ingin kuambil dengan apa yang diinginkan orang tua. Aku hampir menyerah, tetapi aku teringat tekad yang sudah bulat dan berkat komunikasi yang dingin, aku mendapat izin untuk memilih jurusan seusai yang kuingin.

Katanya, ada banyak faktor yang dipertimbangkan untuk bisa lolos di jalur ini. Faktornya pun simpang siur apa saja. Kalau dibandingkan dengan apa yang orang-orang katakan, aku punya beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya peluang untuk lolos. Dari situ aku berkecil hati dan memilih tidak terlalu berharap. Namun, aku tak henti berdoa. Semua yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan. Jadi, untuk mendapatkan sesuatu di dunia ini, kita harus berusaha merayu yang punya, bukan?

Benar, "katanya" adalah kata yang belum bisa dipastikan kebenarannya sampai kita tahu dan kita merasakannya sendiri. Dari banyak "katanya" yang sempat mengecilkan mimpiku, sekarang mimpi itu bersinar terang. Sore itu hujan, aku masih ingat, dengan nyali yang tidak begitu besar, aku membuka pengumuman kelolosan. Pada tahun itu, warna biru adalah lolos dan merah berarti sebaliknya.

Dengan mata yang sedikit mengintip, aku dapat melihat warna kesukaanku terpampang di layar. Refleks aku berteriak, antara terkejut dan tidak percaya. Ibu, Bapak, aku berhasil lolos di jurusan yang bahkan aku sempat benci dengan apa yang ada di jurusan itu. 

Sekarang, aku resmi menjadi mahasiswa Sastra Inggris. Aku tidak pernah menaruh prasangka bisa sampai di sini. Aku tidak pernah menyangka bisa menikmati hal yang pernah kubenci. Namun, aku tahu, semua sudah diatur oleh-Nya; Pemilik Rencana Terbaik, Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia.

Hal-hal yang terjadi di luar perkiraan dan perhitunganku, semalam kucoba kaitkan dengan kalimat yang diucapkan oleh Forrest di film Forrest Gump. Hidup itu seperti sebuah kotak cokelat, itu benar. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita dapat. Di dalam kotak itu, ada berbagai jenis cokelat, yang tentunya masing-masing punya karakteristik sendiri dan ada yang kita suka serta tidak suka. Begitu juga dengan hidup, setiap fase punya rasa tersendiri, mungkin kadang kita dapat senang, kadang dapat sedih, kadang rasa yang lain. Kurasa, seperti halnya cokelat yang hadirnya untuk dinikmati, hidup pun begitu. Apa pun rasa yang didapat, entah yang kita suka atau tidak, kita harus tetap menikmatinya, menjalaninya dengan semaksimal yang kita bisa.

Setelah usaha yang kita berikan, yang selanjutnya adalah belajar menerima. Semua yang terjadi pada kita, tidak lain dan tidak bukan sudah menjadi ketetapan-Nya. 


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Mama Once SaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang