4. Secangkir Teh Hijau.

154 39 74
                                    


Pravara berdeham kecil, dia menyamankan duduknya dengan tegak dan tetap tenang. Wajah cantiknya masih betah menyunggingkan senyum tipis pada dua orang di hadapannya ini, ponsel di tangannya dia genggam erat. "Aku pikir Ibu tidak jadi ke mari, karena sudah hampir dua minggu tidak datang sesuai apa yang Ibu katakan."


Wanita setengah abad lebih itu melirik pada menantunya, sembari menyeruput teh hijau yang dibuatkan oleh Pravara. Lidahnya mengecap-ngecap, merasakan pahit yang mengambang dengan rasa sedikit manis diujung lidah. "Kemarin ada banyak hal yang harus Ibu lakukan. Lagi pula, hidup Ibu bukan tentang kamu saja."


Pravara berkata 'ah' dalam hati dengan kepala yang mengangguk kecil. Wanita itu cukup paham dengan kesibukan Ibu mertuanya yang juga ikut mengurus perusahaan cabang di kota sebelah bersama ayah mertuanya. Sedangkan perusahaan utama suaminya yang memegang, sejak lima bulan setelah pernikahan mereka.


"Heum, Mas Pandu akhir-akhir ini juga lumayan sibuk dan tidak bisa diganggu. Jadi, aku bisa cukup mengetahui kesibukan ibu bersama ayah mengurus perusahaan cabang. Apalagi harus pergi bolak-balik ke mari." Pravara ikut menyesap teh hijau buatannya, mungkin dia salah karena berbohong tentang Pandu yang sibuk sehingga dia tidak bisa diganggu.


Jika kebenaran tentang dia yang mendiami Pandu, Pravara yakin dia akan mendapatkan omelan dan perkataan yang lebih menyakitkan dari kemarin. Secara ibu mertuanya sangat menyayangi suaminya, karena Pandu merupakan laki-laki anak satu-satunya yang mereka miliki.


Mungkin itu juga alasan yang menjadikan ibu mertuanya tidak sabar untuk menimang cucu, sekaligus pewaris dari kekayaan mereka. Jika itu adalah alasannya menodongkan surat perceraian kepadanya, Pravara bisa memakluminya sedikit.


Akan tetapi, jika sampai ibu mertuanya membawa seorang gadis yang akan langsung menjadi penggantinya di rumah ini. Jelas semua itu tidak akan memiliki alasan sesimpel yang ia pikirkan. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini, karena Pandu tidak mengucapkan apa pun kepadanya. Ah, mungkin yang sebenarnya dia yang menghindari Pandu.


"Begitukah?" tanya ibu mertuanya tidak peduli. Wanita dengan setelan blazer kuning dengan celana hitam yang terlihat sangat modis itu mengangkat pundaknya, dia turunkan cangkir teh yang sedari tadi dia minum. "Aku ke sini bukan untuk mendengarkan curhatanmu, kemarikan surat perceraiannya."


"Sejujurnya aku belum melihat lagi surat perceraian itu seminggu yang lalu, akan aku ambilkan."


Ibu mertua Pravara mendengus malas. "Terserah cepat bawa ke mari," suruhnya dengan wajah kesal. Setelah kepergian Pravara yang mengambil surat perceraian wanita itu menyenggol lengan wanita yang dia bawa. "Berhenti meminum tehnya atau kamu sengaja ingin mempermalukan aku?"


Ryeya melirik tidak enak pada wanita tua di sampingnya. "Maaf, Tante Kaesa. Teh ini enak sekali," ucapnya tidak merasa bersalah dan langsung meneguk habis teh miliknya.


Kaesa mengeraskan rahangnya melihat kelakuan Ryeya. Jika bukan karena suaminya, dia tidak akan melakukan hal ini, "Perbaiki sikapmu, sebentar lagi kamu akan menjadi bagian keluarga Laksamana. Jangan sampai kamu mempermalukan nama baik keluarga yang telah aku jaga bertahun-tahun. Benarkan, Pravara?"


Pravara yang baru saja masuk ke ruang tamu dengan berkas ditangannya, hanya bisa menatap bingung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Kaesa. "Ada apa Ibu?"


"Tidak ada. Aku hanya memberitahu pada Ryeya agar dia tidak mempermalukan nama baik keluarga Laksama, setelah dia menikah dengan Pandu nanti. Seperti kamu saat ini," ucap Kaesa sinis sembari melirik Pravara dengan sudut matanya. "Sudah lima tahun menikah dengan Pandu, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Itu mandul atau bagaimana?"


Istri dari Pandu itu terpaku sebentar mendengar kata-kata yang dilayangkan oleh mertuanya. Dia tidak tahu kenapa namanya sampai di bawa-bawa dan dijelekkan seperti itu. Namun, dia harus tetap tenang dan tersenyum. "Ini suratnya, Bu."


Kaesa mengambil berkas itu dengan kasar, dan saat dia membuka lembaran surat perceraian itu kedua alisnya menyatu tidak suka. "Apa ini, Pravara! Kenapa kamu tidak menandatanganinya?!"


Pravara telah mempersiapkan hari ini dengan sangat baik, mungkin. Jadi, dia tersenyum tipis sebagai balasan dan awalan. "Sudah aku katakan kemarin, apa ibu sebelumnya telah mendiskusikan hal ini dengan Mas Pandu? Karena beliau menolak dan tidak mau menandatangani surat perceraian ini."


"Ah! Omong kosong, aku tahu kamu pasti telah meracuni Pandu untuk tidak menyetujui perceraian ini, kan? Apa yang sudah kamu lalukan sehingga Pandu menolak hal ini?" tanya Kaesa dengan mengangkat berkas perceraian itu dan menodongkannya tepat di wajah Pravara.


Pravara spontan memundurkan duduknya, mendapatkan perlakuan seperti itu. Dia menyerngit tidak suka, "Apa yang Ibu lakukan?"


"Katakan sekarang, apa hebatnya kamu, seorang perempuan mandul yang tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga Laksamana! Percuma jika kamu bergelar sarjana dan dari keturunan baik, jika akhirnya kamu tidak bisa mempunyai anak!" Kaesa berdiri dari duduknya. Wajahnya memerah, karena amarahnya berkumpul meluap-luap.


Hal itu sontak membuat Pravara terkejut untuk kedua kalinya. Wanita itu membulatkan matanya dan membuat wajah takut. Ini benar-benar diluar dugaannya, melihat ibu mertuanya semarah ini sama sekali tidak ada dalam bayangan Pravara.


Ke mana wanita anggun yang dulu selalu menyambutnya dengan senyum hangat saat dia berkunjung ke rumah utama? Dan dimana sosok ibu mertua yang kalem dan tidak banyak menuntut, hingga para jurnalis berita gosip selalu membanggakan ibu mertuanya ini. Sejak awal Pravara memang sangat terkejut, ketika Kaesa datang dengan surat perceraian.


Dan kali ini, dia berkali-kali lipat lebih terkejut. "Ibu ..."


"Apa!" sentak Kaesa dengan mengangkat tangannya dan akan menampar Pravara.


Pravara memejamkan matanya dengan erat, begitu juga dengan Ryeya yang memeluk tas miliknya dengan takut. Beberapa detik berlalu, tapi Pravara tidak mendapatkan rasa sakit apa pun. Ketika dia membuka matanya, ada tangan lain yang mencegah tangan Kaesa yang akan menamparnya. "Mas Pandu?"


Seseorang itu menghempaskan tangan Kaesa dan menatap wanita yang melahirkannya itu dengan bingung. "Apa yang akan ibu lakukan dengan istriku?"


Sweet Divorce [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang