11. Three dishes with foreign tastes.

106 32 24
                                    

Sore telah berganti malam. Kelabu menghias langit hitam dengan bergumul tidak karuan, membuat hawa sendu yang begitu dalam.

Di balik kaca kecil di kamar mandi, Pravara bisa melihat setetes demi tetes air menghalangi jarak pandangannya. Hujan datang dengan begitu damainya, hingga dia tidak bisa menahan perasaannya.

"Padahal waktu Ibu berbicara tentang kepindahan Ryeya tidak sesakit ini. Lalu, kenapa tiba-tiba rasanya aku ingin sekali menangis? Ada apa sebenarnya?" monolognya dengan tatapan sedih.

Setelah menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi, Pravara langsung beranjak pergi ke kamar mandi dan tidak menghiraukan Ryeya yang asik di depan televisi.

Mereka tadi tidak sempat berbicara apa pun, karena Pandu langsung pergi ke kamarnya dan meminta Pravara menyiapkan air. Suaminya itu tidak mengatakan sepatah katapun tentang kehadiran Ryeya, selain wajah datar dan dingin.

Bahkan Pandu juga tidak memperdulikan Ryeya yang sibuk menggapainya dengan celotehan khas remaja yang berisik. Tanpa bisa di cegah dan diberhentikan. Sebenarnya Pravara ingin menghentikan Ryeya, tetapi gadis itu sangat bersemangat meskipun tidak mendapatkan respon apa pun.

Karena dua hal itu jugalah yang membuat Pravara sangat segan untuk mengusik Pandu. Terlebih setelah wajah datar dan dingin yang laki-laki itu tunjukkan.

"Wah, apakah aku akan segera menjadi janda? Astaga, kenapa terdengar lucu," ucapnya dengan suara serak. Pravara terduduk di lantai dingin kamar mandi, menekuk dan memeluk dirinya sendiri dengan badan yang gemetar.

Apa setelah ini dia akan diceraikan oleh Pandu? Apakah dia akan dipulangkan ke rumah orang tuanya? Lalu, bagaimana dengan reaksi mereka? Pravara mengusap wajahnya kasar.

"Aku yang menyetujui perceraian ini dan aku lah yang menghujam Mas Pandu dengan kalimat bantahan yang kasar. Akan tetapi, kenapa harus aku merasa yang paling sedih seperti ini? Dadaku pula, kenapa sesak seperti ini?"

Pravara menarik napas panjang, menengadahkan kepalanya bersandar pada dinding. Kemudian menghembuskan dengan kasar, berulang kali hingga apa yang dia cegah tidak tertahan lagi.

"Astaga, kenapa aku menangis. Bodoh," umpatnya seraya menghapus air mata kasar dengan punggung tangan. Namun, hal itu sia-sia. Air mata terus menuruni pipi, membuat wajahnya basah dengan hidung yang memerah.

Dia sentuh dadanya yang terasa berkedut. "Aku bodoh, banget. Hal ini sudah benar, sesuai yang aku harapkan. Mas Pandu menceraikan aku dan aku akan meninggalkan pernikahan kosong ini. Sungguh lelah sekali, tapi kenapa aku seakan tidak begitu ikhlas saat menyatakannya? Kenapa?"

Dia bingung. Ini terlalu rumit dengan dia yang belum pernah menjejakkan kaki di ranah percintaan. Perasannya menjadi bimbang tidak karuan. Bahkan setelah dia berbicara dengan Esha, tetap saja dia seperti ini. Seperti tidak ada jalan keluarnya.

"Kak Pravara? Masih di dalam ya?"

Pintu kamar mandi di ketuk tiga kali, seseorang berdiri di depan pintu kamar mandi dengan wajah tertekuk. Pravara segera berdiri, menarik ingusnya dan berkata dengan suara serak yang coba dia sembunyikan. "Ya, tunggu sebentar."

Wajah sendu dengan mata merah, serta hidung sembab itu dia basuh dengan air wastafel. Menggosok kasar dan menatap wajahnya datar. "Ini udah keputusan aku, meskipun Mas Pandu bilang untuk memperbaiki rumah tangga ini. Nyatanya itu nggak semudah, membanting pintu karena marah. Rasa aneh ini pasti akan berlalu setelah semuanya berjalan sedikit demi sedikit. Ya, itu pasti."

Setelah memastikan wajahnya tidak terlalu aneh, karena habis menangis. Pravara tersenyum menatap kaca wastafel dengan kaku. Kemudian dia beranjak membuka pintu dan menemukan Ryeya di sana. "Ada apa? Apa kamu butuh sesuatu?"

Sweet Divorce [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang