Satu, Dua, Tiga

7 1 0
                                    

15 Februari 2013

Satu...

Dua...

Tiga...

Suara yang seringkali ia ucapkan beriringan dengan gerakan tangan yang menekan salah satu tombol pada benda yang ia pegang. Satu gerakan lembut saja sudah cukup untuk mengambil gambar dari seorang anak laki-laki yang baru saja mendapatkan medali emasnya di olimpiade matematika yang baru saja ia selesaikan pagi itu. Ia tiba-tiba menghampiri salah seorang pemuda berpakaian rapih dengan kemeja putih, celana jeans biru serta kacamata hitam tengah memegang kamera berwarna putih.

Langit sudah mulai kehilangan sinar mentari nya. Sisa warna jingga yang berada di ufuk barat. Sekaligus, banyak orang pula yang pergi melewatinya. Ia bergegas untuk segera pulang karena hari sudah mulai gelap.

Anak itu terus saja menoleh tanpa berbicara sedikitpun. Pemuda itu lalu tersenyum tak lama ketika ia menyadari bahwa ada pangeran kecil yang memperhatikannya. Melihat si pangeran kecil tengah menggenggam sebuah medali emas pun membuatnya dengan cepat berpikir.

"Boleh kan jika aku mengambil gambar dirimu menggunakan ini?" sambil menunjuk kameranya, tanya si pemuda yang dijawab anggukan kepala oleh anak kecil yang langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi bahagia.

Semilir angin meniup sedikit surai hitamnya yang membuatnya harus sedikit merapikan rambutnya seraya ia berjongkok mencoba menyesuaikan tubuhnya dengan tinggi badan seorang anak kecil yang ia sendiri perkirakan berusia sebelas  tahun tersebut.

Tak butuh waktu lama hanya untuk mengambil satu gambar saja yang akan dihadiahkan secara cuma-cuma pada pangeran kecil yang tengah berbahagia tersebut. Kamera berwarna putih miliknya itu pun mengeluarkan selembar kertas putih yang lalu mengeluarkan gambar disana. Sejenak ia menatap gambar tersebut. Nampak bagus walau hanya dalam jepretan pertama.

"Akan kau berikan pada siapa foto ini?"

"Pada ibuku," jawabnya.

Perlahan tangannya terulur guna mengusap puncak kepala anak itu. Ia mengusapnya lembut sembari tersenyum.

"Baiklah. Kalau begitu jaga baik-baik hingga foto ini sampai kepadanya." Selembar foto itu berhasil berpindah tangan pada sang pemilik asli. Ia tersenyum sangat bahagia hingga berulang kali berterima kasih pada orang asing yang menolongnya secara cuma-cuma.

Tak lama sejak itu ia pergi menghilang dari sana. Hanya tersisa orang asing yang berlalu-lalang tanpa meliriknya sama sekali. Ia pun pergi pulang menggunakan bis yang selalu ia tumpangi tiap pergi ke manapun.

Usia nya yang bukan remaja lagi tidak membuatnya semakin kuat. Justru tiap hari yang ia lewati rasanya terlalu berat. Ia semakin kosong layaknya kanvas yang dibuang walau hanya ada coretan kecil padanya. Hiruk piruk perkotaan bersama lampu yang gemerlap disekitar sejenak menarik perhatiannya. Mengapa malam saat itu terasa berbeda? Matanya lalu melihat sekeliling. Hanya ada beberapa orang yang ada disana bersamanya dengan kata lain, hanya ada sedikit penumpang kala itu.

Namun di sudut kiri tepat bersebrangan dengan kursinya. Duduklah seorang gadis muda yang masih mengenakkan seragam sekolahnya. Gadis bersurai hitam pendek yang bahkan terlihat cantik dari kejauhan. Pemuda itu ingin segera berbalik, takut gadis itu melihatnya dan menganggapnya orang aneh namun tak lama dari itu ia melihat gadis itu menangis setelah memperhatikan jendela.

Ia terlihat berusaha keras menahan tangisnya sendirian disana hingga buku yang ia pegang pun terlihat sedikit basah oleh tangisnya. Pemuda itu melihatnya. Ia melihat sosok cantik itu bersedih yang membuatnya dadanya seketika ikut terisak dalam kesedihan. Rasa ingin sekedar menyapa ia coba urungkan. Tentu saja, sebagai orang asing ia tak akan mungkin mempunyai keberanian seperti itu. Gadis itu pasti akan salah paham dengan niat baik nya yang menjadikan pemuda tersebut berakhir menjadi seseorang yang terlihat jahat dalam benak gadis tersebut.

INDURASMI | JI CHANGMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang