1. Tentang Masa Lalu

11 1 1
                                    

Arleta, gadis dengan seragam OSIS yang sudah lecek sana sini berlari di lorong rumah sakit. Matanya terus memproduksi buliran bening sejak sejam lalu sebuah kabar buruk masuk ke handphonenya. Ia tak peduli tatapan orang-orang yang melihatnya. Bukankah rumah sakit tempat orang-orang bersedih, berduka, dan kehilangan? Jadi bukan hal yang aneh jika Arleta menangis sekarang. Tapi demi Tuhan, Arleta tidak menginginkan hal terakhir yang ia pikirkan barusan.

Langkahnya terhenti di ruang perawatan nomor 14A. Jantungnya yang sudah berdebar keras efek berlari, kini semakin kencang dan tangannya gemetar. Ia menarik knop pintu dan perlahan masuk ke dalam. Tatapan pertama jatuh kepada seseorang yang tengah berbaring tak sadarkan diri, oksigen dan alaf infus menghiasi tubuhnya. Dahinya berbalut perban dengan bekas darah yang merembes ke luar. Tangannya, pipinya, dan sudut bibirnya lebam. Semakin kakinya mendekat, tubuhnya bergetar. Buliran itu semakin deras membasahi pipinya. Dengan kedua tangannya, Arleta menyeka kasar air matanya. Nafasnya memburu.

"Leta...,"bahkan ia sampai tak sadar ada orang lain selain yang terbaring sakit. Adik ibunya, tante Sonya, setengah memeluknya, memberinya kekuatan.

"Bang, kenapa ini terjadi sama Abang?"lirih Arleta. Kondisi kakak laki-lakinya cukup memprihatinkan. Setelah mendapat kabar dari tantenya bahwa Rimba dikeroyok oleh segerombolan preman, sejak satu jam lalu Arleta mengutuk mereka yang tak punya hati. Seingatnya abangnya orang yang baik, tidak pernah mencari masalah dengan orang lain. Memang, di sekolahnya Rimba salah satu yang disegani teman-temannya, bahkan adik-adik kelasnya. Bukan karena ia kakak kelas yang suka menindas, arogan dan sejenisnya. Melainkan ia dan beberapa teman-temannya, kerap kali selalu maju sebagai pembela sekolahnya sendiri dari gangguan sekolah lain. Ya, memang hal itu bisa jadi pemicu ada yang tidak suka dengan abangnya. Tapi pertanyaanya siapa preman-preman itu?

"Ta, untuk sementara kamu pulangnya ke rumah tante dulu ya, sampai abang kamu sembuh."

"Gak usah tante. Besok Arleta nginep di sini aja. Arleta bisa mandi di rumah sakit."

Tante Sonya mengangguk maklum. Ia tidak memaksa. Arleta hanya punya Rimba. Begitu pun sebaliknya. Jadi tidak heran jika mereka ingin saling menjaga.
"Bang Rimba pasti bangun dan sembuh kan, Tan?"

"Pasti. Rimba pasti sembuh. Tadi dokter bilang, setelah abang kamu sadar, semua akan baik-baik saja." Tante Sonya tersenyum menenangkan, meski hatinya juga gelisah.

"Kalau gak sadar juga?"tanya Arleta lirih. Tante Sonya tersenyum getir."Pasti bangun, Ta. Kita berdoa yang terbaik buat Rimba."

Dan setelahnya hari-hari Arleta dipenuhi awan mendung. Hari demi hari dilewati Arleta dengan menunggu keajaiban Tuhan. Ia terus berdoa untuk kesembuhan abangnya, mengajaknya ngobrol tentang apa saja berharap abangnya merespon. Meski hatinya rasanya sakit saat tidak ada respon apa-apa dari tubuh abangnya.

Ini hari keenam abangnya di rawat. Segurat cerah bahagia menghiasi wajah Arleta, semalam Rimba menunjukkan perkembangan. Ia mulai menggerak-gerakkan jarinya. Ketika Arleta mengajaknya bicara, jari-jemari itu terus bergerak seolah menimpali ucapan Arleta. Hal kecil itu memberikan harapan kepada Arleta. Sehingga sepulang sekolah ini Arleta dengan langkah ceria mengunjungi Abangnya. Ia membawa hasil ujian akhir semesternya untuk ditunjukkan ke Abangnya.

Tinggal beberapa langkah lagi ia sampai di ruangan rawat Rimba saat seorang dokter, yang menangani abangnya selama hampir sepekan ini keluar ruangan. Apa Rimba sudah bangun? Dadanya tiba-tiba bergetar senang. Tapi seketika dunianya runtuh saat melihat Tante Sonya dan Om Irwan-suaminya, keluar ruangan dengan berderai air mata.

Mata Arleta menatap mereka dengan menuntut penjelasan, dada yang bergetar senang itu berganti degup ketakutan. Tanpa berlama menunggu respon Om dan tantenya, Arleta langsung beringsak masuk.

BREAKWhere stories live. Discover now