Lantas?

3 2 0
                                    

Setelah memesan penginapan menggunakan aplikasi, Alin tetap termenung di dalam masjid.

"Ya Allah, apa keputusanku sudah benar dengan menerima permintaan untuk menikah dengan mas Davdar?." Lirihnya bertanya kepada sang Tuhan.

Kruukkk Alin memperhatikan sekitarnya, takut ada yang mendengar bunyi perut miliknya.

Sudah pukul 22.05 WIB, tapi Alin belum memakan apapun setelah dari rumah makan tadi.

Alin pun bergegas memesan Greb untuk menuju penginapan miliknya. Sesampainya di penginapan, makanan yang dia pesan juga berbarengan datangnya dengan dirinya.

Alin masuk ke dalam penginapan dan meminta kunci kamarnya kepada petugas resepsionis.

Alin tak lantas masuk ke kamarnya, dia duduk di pendopo, memandang langit kemudian membuka makanan yang dipesan lalu memakannya.

Sepi, itu yang dirasakan Alin saat ini. Biasanya ramai.

Alin membayangkan bagaimana hidupnya setelah menikah dengan Davdar. Pasti terasa seperti malam itu, sepi.

Lamunan Alin terganggu suara dering ponsel.

'ABI 🌟' nama yang tertera di layar ponsel Alin saat itu. Tapi Alin hanya melihat dan meletakkan kembali ponselnya. Alin tidak berminat mengangkat telepon dari laki-laki yang sudah merawatnya selama ini.

"Bunda gimana kabarnya ya? Apa bunda bahagia disana sama ayah? Alin kangen bunda." Gumam Alin pelan, tak terasa air matanya melesak keluar tanpa aba-aba.

Alin berpikir, jika orangtuanya masih hidup, apakah Alin akan melalui hal ini? Alin begitu merasa tidak adil saat ini.

Tapi bagaimana bisa dia berpikir tidak adil, sementara dia hanya hamba-Nya dan Dialah yang menentukan jalan hidup seseorang itu seperti apa.

'astaghfirullah' Alin berbisik dalam hatinya. Menghilangkan pikiran bahwa Allah telah bersalah karena memberikan jalan hidup yang seperti ini kepada dirinya.

"Permisi mbak..." Alin terperanjat mendengar suara yang menyapanya, "astaghfirullah," ucapnya sambil mengelus dada.

"Maaf mbak kalau saya mengagetkan." Ucap laki-laki yang menyapanya tadi.

Alin hanya memberikan anggukan, tanpa berniat menjawab.

"Em, saya boleh duduk disini juga?" Izinnya kemudian, lagi-lagi Alin hanya mengangguk memberikan jawaban.

"Makasih mbak. Perkenalkan, saya Alif. Muhammad Alif Syaifullah." Ucap laki-laki tadi memperkenalkan diri.

Alin merasa tidak asing dengan nama yang baru disebutkan oleh lelaki di hadapannya itu. Alin menatap lekat manik hazel lelaki di hadapannya. Alin mengenalnya, ya Alin sangat mengenal laki-laki ini.

"A-alif. Kamu Alif?." Tanya Alin dengan gagap.

"Iya, saya Alif. Ada apa ya mbaknya?." Pemuda itu nampak bingung melihat mata Alin yang berkaca-kaca. "Saya punya salah mbak? Atau bagaimana? Ko mbaknya nangis. Jangan nangis mbak, nanti dikira orang saya udah jahatin mbaknya." Cerocos laki-laki yang bernama Alif itu.

Bukannya menjawab, Alin malah menghampiri nya dan mengangkat celana yang digunakan laki-laki itu.

"Mbak-mbak, mbak mau ngapain, saya jangan di perkosa mbak. Astaga, mbak tolong mbak." Semakin Alif berontak, semakin Alin kuat menyibak celana yang dikenakan laki-laki di depannya ini.

Ketemu, Alin terduduk lemas saat melihat luka yang bersanding dengan tanda lahir di lutut Alif.

"Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah menyelamatkan satu-satunya keluargaku." Alif semakin bingung dengan wanita yang baru ditemuinya ini, keluarga? Bahkan dia baru pertama kali bertemu dengan gadis yang bersimpuh di kakinya ini.

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang