Kutipan Langit

310 27 4
                                    

Untuk kesekian kalinya pemuda berambut putih itu menghela napas, bertahun-tahun ia terjebak di desa ini. Bahkan di saat kelima kakaknya telah pergi meninggalkan desa, dirinya tetap berdiam diri di tempat ini.

Tidak banyak hal yang dapat ia lakukan di desa, penduduk sekitar senantiasa meremehkan dan mengucilkan keluarga mereka sebab sang ibu yang masih keturunan Belanda. Dirinya benar-benar tidak habis pikir dengan para pribumi yang berada di tempat ini.

"Nak? Bisa kau membuatkanku teh?"

Pemuda itu pun menoleh dan mengangguk, jangan lupakan senyuman manis yang terukir di bibir indahnya itu. "Tentu, Ibu. Duduklah terlebih dahulu, aku akan membuatkanmu secangkir teh hangat. Kau pasti merasa sangat lelah setelah bekerja dari kebun."

Walaupun dengan keterbatasan penglihatan, ia tetap meracik teh herbal kesukaan sang ibu dengan baik. Ia pun mencicipi sedikit minuman tersebut dengan menuangkan sedikit isinya ke dalam gelasnya sendiri guna memastikan cita rasanya sudah pas, barulah kemudian ia menyajikan teh tersebut kepada wanita yang paling ia sayangi itu. Tak lupa, ia juga menyajikan sepiring pisang rebus.

"Ini Ibu," ujarnya sembari tersenyum, sang ibu pun mengusap rambut putihnya lembut sembari membalas senyumannya. "Duhai Putraku ... alangkah kejamnya dunia ini pada anak sebaik engkau. Semua ini salah Ibu, kalau saja Ibu bukanlah seorang keturunan Belanda ... tentu kau tak perlu menanggung hukuman dari semesta ini ...."

Ledib menggeleng dan menggenggam tangan ibunya erat. Ia tersenyum tulus guna menyalurkan rasa sayang yang sebesarnya kepada sang ibu. "Tidak, Ibu. Kau tidak salah sedikitpun, ini adalah skenario yang telah diciptakan semesta untukku. Akulah yang berterima kasih sebab sudah mau mengurus anak cacat sepertiku."

Wanita itu senantiasa merasa bersalah setiap kali memandang putra bungsunya itu, sebab dirinya dan kelainan itulah ia tidak bisa berbaur dengan penduduk desa lainnya.

Perbincangan manis antara ibu dan anak itu tiba-tiba terputus sebab terdengar suara ribut dari luar rumah, pemuda itu pun segera mengecek keadaan dan menemukan bahwa sang ayah tengah menggotong seorang pria yang tengah tak sadarkan diri.

"Bantu aku, Nak. Pria ini ku temukan pingsan di hutan saat aku sedang mencari kayu bakar, nampaknya ia terluka parah." Ledib hanya mengangguk sebelum membantu sang ayah untuk membawa pria asing itu masuk ke dalam rumah.

"Nampaknya babi hutan mengganas akhir-akhir ini, lihatlah luka-lukanya itu. Entah apa yang pria malang itu lakukan hingga membuatnya hampir tewas oleh babi hutan."

Pemuda berambut putih itu pun kembali dan membawa peralatan milik ibunya, kemudian berlutut di sebelah pria yang tak sadarkan diri itu. Dengan hati-hati, ia membersihkan luka yang terbuka lebar itu dengan alkohol.

Sang ibu pun tersenyum saat melihat putranya itu sudah mampu melakukan tindakan pertolongan dengan cekatan walaupun putranya itu memiliki gangguan penglihatan. "Kau sudah semakin mahir, Nak. Aku yakin, suatu hari nanti kau bisa menjadi dokter paling hebat di desa ini."

Ia hanya tersenyum sembari terus mengobati luka di sekujur tubuh pria itu, memang kemampuannya dapat dikatakan berkembang dengan pesat. Dia hampir mengenali seluruh tumbuhan herbal beserta khasiatnya dan juga berbagai macam tumbuhan yang berbahaya, berbeda dengan pemuda lainnya yang hanya berfokus untuk membantu kedua orangtuanya di ladang dan kebun.

Dengan telaten mengurus pria malang itu, dengan penuh kehati-hatian agar dirinya tidak melukainya sedikitpun. Ia pun menghela napas lega begitu semua luka telah ia obati. Seharusnya pria itu akan baik-baik saja dan keadaan kembali seperti sedia kala, benar bukan?

T. B. C.

Saṃskṛtabhāsa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang