Asmarakarsa

251 31 8
                                    

Ditemani oleh cahaya temaram dari api unggun, semua orang berkumpul guna merayakan rasa syukur atas pulihnya sang komandan.

"Terimakasih atas kerja keras saudara-saudara selama ini, tidak terasa tugas kita sebentar lagi akan selesai. Sungguh luar biasa kita mampu berjuang membela tanah air kita dari ancaman para penjajah bedebah yang hendak merebut tanah ini, tanah milik Republik!"

Sorakan menggebu penuh semangat disuarakan oleh semua orang yang ada di sana, terkecuali Ledib. Ia hanya diam memperhatikan sang komandan sembari merenung. Dirinya merasa amat bersalah atas darah penjajah yang mengalir di dalam dirinya saat berada di tempat ini, namun bukankah ia sendiri pun tak pernah menginginkan hal itu, bukan?

Acara itu berlangsung hingga hampir larut malam, semuanya sangat menyenangkan. Atmosfer tali kekeluargaan mereka sangat terasa, hal itu juga membuat pemuda itu merasa takjub.

"Nak, ayo bersiap. Aku akan mengantarmu pulang."

"Pulang kemana?"

Bukan Ledib yang menjawab, namun sang komandanlah yang menjawab. Tak sengaja ia mencuri dengar percakapan antara anak buahnya dengan pemuda itu. Pria tentara itu pun meneguk ludahnya takut, sudah tentu komandannya akan marah padanya.

"Apa yang kalian sembunyikan dariku?" tanya sang komandan lagi yang membuat pria itu berkeringat dingin. Tidak ingin memperkeruh suasana, akhirnya ia pun menceritakan apa saja yang telah terjadi.

Hal itu membuat sang komandan menghela napas. "Baiklah. Biar aku ikut mengantarkan anak ini, ada banyak hal yang harus kita bicarakan dengan kedua orangtuanya atas masalah yang telah kau perbuat itu."

Dan pria itu sungguh-sungguh atas ucapannya, ia ikut mengantar pemuda berambut putih itu kembali ke desanya dengan selamat. Di sana ia juga yang menjelaskan kepada kedua orangtua Ledib tentang apa yang telah terjadi, tak lupa ia juga meminta maaf sebesar-besarnya kepada keduanya.

Apakah masalah selesai? Tidak sepenuhnya.

Beberapa hari sudah berlalu, namun entah mengapa hatinya terasa amat mendung. Akhir-akhir ini ia sering membayangkan sang komandan, bahkan tersenyum layaknya orang tidak waras saat bayangnya melintas. Entah apa yang terjadi pada dirinya saat ini, ia juga tidak tahu.

Bagaimana bisa sebuah pertemuan yang sangat singkat itu berdampak besar bagi dirinya? Lagipula usia mereka terpaut cukup jauh, rasanya mustahil. Ditambah, keduanya sama-sama laki-laki, rasanya nihil untuk bisa bersama.

"Apakah putra kesayangan Ibu sedang jatuh cinta?" tanya sang ibu lembut. Bahkan ibunya pun menyadari bahwa ada yang berbeda dengan tingkah laku pemuda itu, yang mana ia menggeleng. "Aku tidak tahu, Ibu. Namun setiap kali aku mengingatnya, hatiku rasanya menghangat, jantungku pun berdetak lebih kencang. Apakah itu yang dinamakan cinta?"

Sang ibu pun mencubit ujung hidung putranya gemas. "Ternyata putraku sudah dewasa. Kejarlah ia, Nak. Kau pantas untuk bahagia."

"Namun usianya jauh lebih tua dari diriku, Ibu .... Ditambah, ia juga seorang laki-laki, sama sepertiku. Apakah cinta ini masih layak untuk ku kejar, Bu?"

Sang ibu pun mengangguk sembari tersenyum lembut. "Selama hal itu membuatmu bahagia, ya. Cinta itu memang selalu datang tak terduga, karena itu kejarlah ia selagi engkau bisa."

THE END

Saṃskṛtabhāsa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang