Prologue

15 2 1
                                    

Berjalan dengan tangan terborgol, wanita muda itu  tidak bersuara. Rambut hitam panjangnya sangat berantakan, begitu juga dengan pakaiannya yang kotor. Wajahnya pucat tanpa ekspresi dan tatapan mata hitam besarnya sangat kosong seakan tanpa kehidupan.

"Mati!!"

"Mati kau, penyihir!!"

Suara teriakan penuh kemarahan terdengar memenuhi jalan, kerumuman penduduk Kekaisaran Suci Aragon memenuhi jalan utama menuju lapangan Aria tempat di mana eksekusi akan dilaksanakan.

"Kembalikan Pangeran kami, Penyihir!!"

"Kau pembunuh!!"

"Mati kau!!"

Batu dilemparkan, dan para prajurit penjaga yang mengawal wanita tersebut sama sekali tidak menghentikan mereka, sebab, mereka juga sama marahnya. Bagi mereka semua, wanita itu memang pantas mati.

Darah mengalir dari kening wanita tersebut, tapi dia tetap tidak memperlihatkan ekpresi sedikitpun. Kemarahan, hinaan dan cacian yang dilontarkan kepadanya memang pantas diterimanya, begitu juga dengan semua batu yang dilemparkan. Dia adalah seorang pendosa—seorang pembunuh.

Ramita, istriku tercinta.

Suara rendah yang selalu berbisik pelan dan lembut di telinganya melintas dalam pikiran wanita itu, begitu juga dengan senyum indah dan hangat seorang pria.

Tersenyum dan tertawalah, Ramita.

Menutup mata, wanita itu merasakan kesakitan yang luar biasa dalam hatinya. Tapi, dia tidak menangis—mungkin karena dia sudah lelah menangis, atau mungkin karena—air matanya telah kering.

Aku akan selalu ada untukmu, Ramita.

Terus melangkah tidak peduli dengan hinaan cacian dan juga batu yang dilemparkan, wanita itu tersenyum kecil. Pembohong—kau meninggalkanku sendirian.

Tiba di lapangan Aria di mana eksekusi akan di adakan, mata wanita itu bisa melihat tumpukan kayu kering di tengah lapangan. Tidak membuang waktu yang ada, dua orang prajurit kemudian menyeret badan lemahnya ke arah tumpukan kayu kering.

Wanita itu tidak melawan ataupun memberontak. Mengangkat wajahnya, dia bisa melihat tidak jauh darinya sebuah panggung megah berdiri dengan beberapa orang yang duduk di atas kursi menatapnya. Pandangan mata mereka penuh kemarahan serta kebencian terarah padanya, dan dia—memakluminya. Dia adalah pembunuh. Diaadalah orang yang merengut seorang putra, adik, kakak, sahabat dan juga tuan terkasih dari mereka.

Mengangkat paku dan palu, kedua prajurit yang menyeret wanita berambut hitam tersebut kemudian memaku telapak tangan sang wanita pada sebatang kayu besar yang dikelilingi kayu kering.

"Ahhh!!"

Berteriak kesakitan, darah merah mengalir turun. Tapi untuk kesekian kalinya, wanita berambut hitam itu tetap tidak memberontak. Dia berdiam diri membiarkan kedua prajurit itu memaku telapak tangan dan juga kakinya.

Menutup mata menahan kesakitan yang ada, wanita itu kemudian membuka matanya lagi, tapi, pandangannya menjadi sangat kabur. Dia tidak merasakan apapun kecuali kesakitan, dan dia juga tidak sadar lagi akan kedua orang prajurit yang telah meninggalkannya sendirian. Dunia seakan menggelap hingga suara teriakan keras seseorang ditangkap telinganya.

"Eksekusi!!"

Pandangan gelap kembali menjadi merah membara diiringi hawa panas yang ada. Rasa panas dan sakit mulai menjalal kepadanya, dari ujung kaki hingga keseluluh badan—api yang dinyalakan mulai menelan dirinya.

Mengangkat kepalanya dengan susah payah, dia kembali menatap ke atas panggung. Tapi, api dan juga asap yang ada membuatnya tidak dapat melihat apapun kecuali—lambang suci kekaisaran Aragon yang sekaligus merupakan lambang dari Dewi Agung Isolia.

Aku berdoa pada Dewi cahaya Isolia setiap hari—doa untukmu.

Wanita berambut hitam itu tersenyum sedih. Dewi Agung Isolia tidak mendengar doa tersebut, mungkin karena dirinya yang terkutut ini memang tidak pantas menerimanya.

Rasa sakit dan panas yang ada semakin luar biasa. Jantungnya yang berdetak menjadi semakin cepat dan cepat seakan ingin meledak. Aura hitam pekat kemudian muncul dari sekujur tubuhnya—hitam yang menyeramkan.

"Perisai!!"

Suara seseorang kembali terdengar, dan para pendeta kuil Isolia mengangkat tangan dan membuat perisai suci besar yang mengurung wanita berambut hitam tersebut.

Aura hitam pekat yang ada semakin membesar dan bergerak liar tidak terkendalikan. Menabrak perisai suci yang ada, aura itu menyerang, mencabik berusaha untuk bebas. Semua yang melihat terdiam, rasa ngeri dan menyesakkan mereka rasakan—aura hitam pekat itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.

Wanita berambut hitam itu bisa melihat dan merasakan jelas aura hitam yang ada—kutukannya. Rasa sakit yang tidak terjelaskan lagi menyelimutinya, dia merasa bagaikan terbakar dan tercabik di saat yang bersamaan. Pandangannya yang buram kemudian menangkap sosok seorang pria di atas panggung di depan. Berambut dan mata emas, di tangannya, dia menarik busur dengan panah emas suci mengarah kepadanya.

Saat anak panah dilepaskan, wanita berambut hitam menutup matanya. Dia yang tidak bergerak maupun berteriak tersenyum saat merasakan panah suci menembus jantungnya. Rasa sakit tidak dipedulikannya lagi, dia tahu, inilah akhir hidupnya.

Ramita.

Wajah tersenyum seorang pria terbayang. Senyumnya yang hangat dan indah—matahari dalam hidupnya yang menghilang karena dirinya. Membuka mata, wanita berambut hitam itu mengangkat matanya menatap langit biru di atas. Tidak apa-apa jika dia mati, karena dia memang pantas mati. Tapi—tidak untuknya; tidak untuk Ethan.

Aku berdoa untuk keselamatanmu—aku berdoa kau selalu bahagia, Ramita.

Doa pria itu yang tulus untuknya—tidak apa-apa jika tidak bisa menjadi kenyataan. Tapi, dia berharap, doanya untuk pria itu bisa menjadi kenyataan. Jika Dewi Agung Isolia benar ada, maka dia berharap sang dewi akan mendengar doanya dan mengasihani dirinya. Dia rela memberikan jiwanya, dia rela jiwanya menderita selamanya asal pria itu selamat—asal pria itu hidup dan bahagia.

Kegelapan menyelimuti pandangan wanita berambut hitam itu, rasa sakit menghilang, dan wajah tersenyum pria itu kembali terbayang.

Aku mencintaimu, Ramitaku.

.xOxOx.

Wish You Live, Wish You Are HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang