Empat

433 50 2
                                    

“Bapak manggil saya?” Kirana bertanya memastikan.

“Betul, silahkan duduk terlebih dahulu.”

Kirana akhirnya mendudukan diri nya pada sofa abu-abu yang menjadi sofa favorit sang Jendral.

“Saya masih penasaran dengan asal usul mu.”

“Baik, silahkan bertanya.” ujar Kirana meyakinkan.

“Bagaimana kamu dapat kemari bersama petugas polisi tadi?”

OMG, gue harus jawab apa jir?

“Ah ... Sebenarnya kami bertemu di kantor polisi, kemudian beliau menawarkan saya tumpangan.” jelas nya, rasa gugup tercetak jelas di wajah Kirana.

“Untuk apa beliau menawari mu tumpangan?” Pierre bertanya tak santai.

“Buset mas, santai ae. Gue juga gatau kenapa dia nawarin buat ngasih gue tumpangan, gue iya iya aja.”

“Kau terlalu ceroboh, apa kau akan berkata iya kepada setiap orang yang akan memberimu tumpangan?” tanya nya dengan nada sarkasme yang kental.

Jujur, gue ga nyangka ternyata pahlawan modelan Pierre bisa se nyebelin ini.

Kirana hanya menundukkan kepala nya, karena yang dikatakan Pierre ada benar nya, tak seharusnya ia mempercayai sembarang orang dengan mudah.

“Sudah lah Yer, tidak usah memarahi nya, kau membuat nya takut.” ujar Pak Nas membela Kirana.

Bukan takut sih pak, kesel sebenernya.

“Jadi nona bukan utusan partai komunis itu?” Sang Jendral kembali memastikan.

“Bukan Pak, saya bukan utusan itu partai kok, suer.” jawab nya, sembari mengangkat tangan kanan nya berpose peace.

Kedua pria di hadapan nya nampak mengernyit, sepertinya kebingungan dengan arti kata 'suer' dan pose peace yang dilakukan oleh gadis itu.

“Baiklah jika begitu, saya akan memberitahu istri saya, kamu dapat bersantai hari ini dan bekerja mulai besok, Ade sebentar lagi akan pulang.”

“Nggeh, siap pak.” jawab gadis itu dengan sikap memberi hormat pada Pak Nas.

Jendral itu hanya terkekeh pelan sebelum meninggalkan Kirana dengan ajudan nya. Kirana yang merupakan 'penggemar berat' sejarah tak akan bisa tinggal diam. Dengan suasana yang awkward. Kirana memberanikan diri untuk bertanya.

“Nama lo Pierre, ya? Lo tadi kenapa kaya sensi banget sama PKI?”

Pandangan Pierre seketika beralih menatap gadis berambut hitam itu, wajah nya menunjukan rasa heran, entah dia heran karena gadis ini terlalu bodoh karena menanyakan alasan nya tak menyukai PKI, atau karena tiba-tiba memilih menanyakan sesuatu yang sudah jelas ia ketahui fakta nya.

“Bukan kah itu sudah jelas? Karena mereka adalah partai komuniskomunis. Bagaimana kau dapat mengetahui PKI padahal selama ini kau tinggal di belanda? kau juga nampak fasih berbahasa Indonesia.” Kini Kirana dibuat diam seribu bahasa.

“Itu ... gue masih ada keluarga yang tinggal di Indonesia, jadi ya saling surat menyurat, atau ngga ya telfon lah, saling berkabar.” Ia menjawab asal.

Pierre nampak ragu mendengar jawaban asal gadis itu, namun tidak melanjutkan bertanya. Kirana diam diam bernafas lega karena tak harus menjawab segala pertanyaan ajudan Pak Nas itu.

Our destiny | DropTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang