Ini adalah cerita tentang Sekar Widari, seorang perempuan pribumi yang menentang sekali patriarki dan selalu menuntut agar wanita diperlakukan sama dengan laki-laki. Widari ingin perempuan memiliki kebebasan atas hidupnya sendiri, ia ingin memerdeka...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langsung saja Widari menulis sebuah surat begitu ia tiba ke kedai yang sekaligus menjadi rumah baginya. Sudah pula ia tanyakan kepada Siti dan Nyi Walsih yang selalu bekerja dari kedai buka hingga tutup di kala malam. Menurut mereka, belum ada satu pun surat yang ditujukan kepada Widari karena selama dua minggu ini, tukang pos tak pernah mampir ke sini.
Dosa apa yang sudah dilakukan Widari hingga organisasi-organisasi wanita se-Jawa itu tidak mengundang Darajat Istri? Jika Soeria berkata benar tentang dua topik yang nanti akan dibahas di dalam Kongres Perempuan, maka Widari dan perhimpunannya wajib diundang ke sana karena banyak sekali hal yang ingin Widari kemukakan.
"Sepertinya mereka sengaja, Wid," Jubaedah yang merupakan teman dekat Widari sekaligus anggota perhimpunan itu berujar. Sepulang dari mengirim surat ke kantor pos, ia bertemu dengan lima anggota Darajat Istri yang baru kembali dari Roemah Istri setelah mengikuti pelatihan yang diberikan Widari. Mereka bertanya kenapa, tentu Widari menjawab yang tanpa dirinya duga, kabar tentang tak diundangnya Widari langsung menyebar ke seluruh anggota perhimpunan yang lain.
Sampailah kabar itu ke telinga Jubaedah, yang membuat perempuan berstatus janda ini berkunjung pagi-pagi sekali ke kedai Widari di keesokan harinya. Sebelum mengenal Widari, Jubaedah adalah seorang istri penurut yang rela diperlakukan apa saja oleh suaminya sekalipun itu disiksa. Sehari-hari badannya babak belur. Jubaedah ditemukan hampir tak bernyawa di emperan toko Pasar Baroeweg ketika Widari hendak membeli kain batik– tak seberapa jauh dari toko suaminya yang keturunan Cina itu.
Cerailah ia atas bantuan dari Widari. Kini, hidupnya merdeka dan leluasa. Jubaedah menjual pernak-pernik di pinggir Jalan Grote Postweg. Dia terkenal di kalangan gadis bangsawan karena buah tangannya yang menawan. Keahliannya itu dipelajari Jubaedah dari Widari. Tanpa Widari, Jubaedah tidak akan berani menyandang status janda yang rendah di mata masyarakat itu dan tak mungkin juga ia bisa berdaya di atas kehendaknya seperti sekarang.
"Aku juga berpikir begitu," tukas Widari. Tangannya memutar grinder dengan begitu cepat, seperti disisipi oleh emosi yang tak tertuangkan. Dalam waktu singkat, biji kopi kering yang digilingnya berubah menjadi bubuk halus yang siap untuk diseduh.
"Aku sampai bertanya-tanya dosaku apa, perhimpunanku juga masih diizinkan berdiri resmi oleh pemerintah kerajaan yang mengartikan bahwa aku tidak melanggar satu pun batasan dari mereka. Ini tidak bisa dibiarkan, Dah," katanya dengan marah. Masa di kelompoknya sendiri saja Widari dikucilkan? Dunia macam apa sih ini?
"Nanti aku tanya temanku yang bekerja di Hotel Preanger, dia pasti tahu kapan acara-acara besar akan diselenggarakan. Kalau kau memang tidak diundang, kau mau apa, Wid?" Tidak, Jubaedah tidak bermaksud mengipasi bara api yang menyala agar lebih membara. Ia murni merasa penasaran dengan langkah yang akan diambil oleh temannya.
"Tentu aku akan tetap datang ke sana sebagai peserta kongres karena Darajat Istri masih merupakan organisasi yang resmi." Suara sendok yang dipukulkan ke bibir cangkir keramik itu berdenting, pertanda bahwa Widari telah selesai menyajikan kopi pesanan.