2| Peter dan Rusdi

628 120 23
                                        

"Rus! Rusdi! Kom hier!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Rus! Rusdi! Kom hier!"

Pagi-pagi sekali, pria bermata biru itu sudah berteriak di depan rumah orang. Penampilannya rapi sekali. Dia memakai mantel sepaha dan topi flatcap yang berwarna senada. Ketika tersorot sinar mentari pagi, matanya tampak menyala. Terdapat bintik-bintik kecil di area sekitar bawah matanya yang menegaskan dari ras mana dia berasal.

Yang dipanggil baru keluar setelah Peter berteriak sebelas kali. Laki-laki pemalas itu masih menggunakan kaus dalam tanpa lengan yang dipadankan dengan sarung berwarna pudar. "Eg, sekarang masih terlalu pagi, biarkan aku berangkat ke bengkel seb– kau mau ke mana?" Agaknya Rusdi baru sadar bahwa temannya itu sudah bergaya.

"Ayo kita minum kopi ke kedai Widari," ajaknya bersemangat.

Rusdi menguap lebar-lebar, "Kau memang orang Eropa, minum kopi pagi-pagi bisa membuat perutmu sakit. Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu."

Laki-laki itu kembali masuk ke dalam rumahnya, dia meninggalkan Peter sendirian di teras depan. Lelaki yang sudah tidak sabar karena ingin segera berkunjung ke kedai kopi Widari itu berusaha tenang dan duduk santai di atas kursi rotan. Di rumahnya, jam segini sudah ada koran. Kalau saja Rusdi berlangganan koran seperti dirinya, pasti sekarang dia bisa mengisi waktunya dengan membaca surat kabar.

Peter Egbert sudah sepuluh tahun tinggal di Hindia Belanda. Dia diutus langsung oleh Ratu Wilhelmina untuk membantu mempersiapkan pembangunan dan pengoperasian KNILM³. Dirinya menjadi salah satu penyusun empat pesawat Fokker yang dirakit di Tjililitan. Setelah berhasil dan maskapai penerbangan Hindia Belanda dibuka, Peter dipindah tugaskan ke bengkel penerbangan KNIL yang berada di Lapangan Terbang Andir. Di sana lah ia bertemu dengan Rusdianto.

Saat itu, Rusdi masih menjadi tukang angkat besi dan kayu. Dia juga masih bersekolah di sekolah teknik. Karena pemerintah Hindia Belanda sadar betul akan kemampuan yang dimiliki Rusdi, ia pun diangkat menjadi teknisi selepas lulus dari sekolah teknik. Rusdi menjadi teman pribumi Peter yang pertama. Dua sekawan ini seperti tak terpisahkan. Ke mana Peter pergi, pasti ada Rusdi. Pun sebaliknya.

"Jangan lama ya, Eg. Kita harus segera ke bengkel untuk memperbaiki pesawat milik Gubernur Jenderal." Bukannya tidak ingin memastikan apakah Widari adalah setan gunung Lembang atau bukan, tapi Rusdi lebih takut pada Cornelis Dirk de Graeff yang diktator itu. Bisa tamat hidupnya jika pesawat operasional milik Gubernur Jenderal tidak diperbaiki sesuai tenggat yang ditentukan.

"Itu masalah gampang. Ayo berangkat," Peter telah lebih dulu mengayuh ontel kepunyaannya, disusul oleh Rusdi yang mengekor dari belakang. Keduanya menyusuri setiap sudut jalanan kota sambil sesekali bercanda. Kadang kejar-kejaran, kadang juga salah satunya iseng berbelok di sebuah gang sampai bertemu lagi di persimpangan berikutnya.

Kedai Kopi Widari yang berada tepat di Jalan Raya Pos itu tampak masih sepi sekali. Ontel yang mereka kayuh diparkirkan di depan kedai. Peter dan Rusdi saling tuduh untuk menentukan siapa yang lebih dulu harus masuk ke dalam. Karena Peter selalu membawa-bawa umur dan senioritas, akhirnya Rusdi kalah sehingga dirinya mesti memimpin langkah.

W I D A R ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang