chap 1: Dimana ini?

4.8K 352 3
                                    


Masih di ruang bawah tanah, seorang remaja tampak terbaring dalam kondisi mengenaskan. Tubuhnya berlumur darah, dengan luka sayatan menghiasi lengan dan pipinya. Perlahan, mata cokelat tajam itu terbuka sepenuhnya. Pemilik tubuh itu mencoba duduk meski seluruh badannya terasa mati rasa.

Matanya menyapu ruangan yang asing baginya. Alisnya berkerut, seolah bertanya pada diri sendiri. Di mana ini?

"Ruang bawah tanah?" gumam Rashaka, mengamati sekitar.

Ya, pemuda itu adalah Rashaka. Kini, jiwanya menempati tubuh seorang anak bernama Shakara. Sedangkan Shakara? Mungkin dia sudah mati. 

"Sial!" batin Rashaka sambil meringis kesakitan saat mencoba berdiri.

Kilasan memori asing mulai melintas di kepalanya, membawa rasa sakit yang begitu menusuk. Potongan-potongan adegan itu seperti teka-teki suram.

Darimana saja kau, anak sialan?!

Alah, banyak alasan! Udah salah, masih berani ngelawan?

Susul saya ke ruang bawah tanah, atau saya seret!

Shakara pengen disayang, bukan disakiti...

Rashaka terdiam, mencerna semuanya. Jelas, tubuh yang kini dia tempati telah melalui berbagai penderitaan. 

"Nama anak ini Shakara," gumam Rashaka. Kini dia paham tubuh siapa yang dia huni. 

Rashaka menatap sekeliling mencari cermin. Dia ingin melihat bagaimana kondisi wajahnya. Jika tubuhnya saja penuh luka, apalagi mukanya? 

Di pojok ruangan, dia menemukan cermin kecil berbentuk bulat yang tergantung di dinding. Dengan langkah perlahan, dia mendekat. Saat melihat bayangan wajah di cermin, alisnya terangkat.

"Kayaknya Tuhan salah milih orang," gumamnya. Wajah pemuda ini begitu manis, terlalu lembut untuk diisi oleh jiwa kejam dan tanpa ekspresi seperti dirinya. 

Setelah menyusun pikirannya, Rashaka mencari jalan keluar dari ruangan gelap yang pengap itu. Dia mencoba membuka pintu, tetapi sia-sia. 

"Siapa yang berani ngunci gue?!" Desisnya tajam. 

Dia mengamati ruangan itu sekali lagi. Matanya tertumbuk pada meja kayu kecil di sudut ruangan. Di atasnya, ada mangkuk kosong dan sebotol air yang sudah habis. Jejak hidup yang terlihat seadanya. Entah sudah berapa lama Shakara dikurung di sini. 

Dengan kekuatan penuh, Rashaka mendobrak pintu.

Brakkk!

Pintu itu hancur, membuat para penjaga di luar terperangah. 

Mereka kaget melihat tuan muda mereka keluar dalam kondisi babak belur, namun dengan ekspresi datar dan aura mengintimidasi. 

"Gak usah liatin gue! Belum puas nyiksa gue semalam?" Rashaka menatap tajam mereka. 

Salah satu penjaga mencoba bicara, "Anda tidak boleh keluar, Tuan Muda. Ini bagian dari hukuman Anda."

Rashaka mendengus. "Lo siapa? Berani banget ngelarang gue!"

Ketika salah satu penjaga mencoba menyentuhnya, Rashaka segera mematahkan lengannya tanpa ragu.

Krakk!

"Don't touch me. Gue jijik!" desis Rashaka dingin, menatap rendah penjaga yang meringis kesakitan. 

Ketika penjaga lain mencoba menyerangnya, Rashaka dengan mudah menghabisi mereka. Hanya butuh beberapa menit untuk membuat kelimanya terkapar berlumuran darah. 

"Gak usah main-main sama gue. Kecuali... main nyawa," ucapnya datar, penuh ancaman. 

Setelah memastikan semua penjaga tak berdaya, Rashaka meninggalkan ruang bawah tanah itu. Mansion terasa sepi, hanya ada beberapa pelayan dan penjaga yang tersisa. 

Naik ke lantai dua dengan lift, Rashaka masuk ke kamar yang diyakininya milik Shakara. Ruangan itu sederhana dan rapi, dengan warna krem mendominasi. Namun, Rashaka hanya mendengus. 

"Terlalu cerah," komentarnya singkat. 

Dia berjalan menuju meja belajar, mengambil ponsel Shakara yang dibiarkan tanpa sandi. Tanpa ragu, Rashaka menjelajahi isi ponsel itu, mencari petunjuk tentang kehidupan pemilik tubuh sebelumnya. 

Saat membuka galeri, muncul beberapa foto-foto Shakara bersama dua anak yang sepertinya kakaknya. Salah satu foto membuat Rashaka berhenti sejenak. Dalam gambar itu, Shakara tersenyum kecil, matanya terlihat penuh luka meski bibirnya terangkat. Ada rasa asing yang menyelinap dalam dada Rashaka. 

"Lo manusia baik yang salah lahir, ya?" bisiknya pada foto itu, lalu menaruh ponsel kembali di meja. 

Hari itu, Rashaka hanya berdiam diri, menunggu sore tiba. Baginya, terlalu malas untuk keluar saat matahari masih menyengat. Namun, satu hal kini tertanam dalam benaknya, jika tubuh ini sudah menjadi miliknya, maka tidak ada yang boleh menyentuhnya lagi. 

RASHAKA: Deep RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang