Seorang pemuda dengan seragam sekolah yang masih rapi memasuki mansion dengan hati-hati. Jam dinding menunjukkan pukul 16:02—sudah lewat dari waktu seharusnya ia pulang. Hatinya berdebar, takut akan amukan sang ayah.Shakara, pemuda yang ceria dan polos, mencoba mengendap-endap agar tak ketahuan. Tadi, ia mampir ke toko buku untuk membeli novel baru yang ia incar. Tapi karena terlalu asyik melihat-lihat, ia lupa waktu.
Dengan napas panjang, Shakara menyiapkan diri untuk menghadapi murka ayahnya. Belum lagi kakaknya, Vandra, pasti akan memperparah suasana seperti biasa.
"Darimana saja kau, anak sialan?" Suara Angga, ayahnya, bergema di ruangan dengan nada yang penuh amarah.
Tubuh Shakara menegang. Ia menunduk saat melihat sang ayah mendekat dengan wajah yang gelap.
"I-i-itu, a-anu—"
"Alah, banyak alasan! Udah salah masih ngelawan!" Vandra, kakaknya, muncul dari tangga sambil menatap Shakara sinis. Seperti biasa, ia menambah minyak ke api yang sudah menyala.
Shakara mencoba menjelaskan. "A-abang, Shaka cuma—"
Ctarrr!
Belum selesai bicara, punggung Shakara terasa panas akibat cambukan keras dari sabuk kulit di tangan Angga.
Ctarrr! Ctarrr!
Empat kali cambukan mendarat di tubuh Shakara, membuatnya jatuh terduduk di lantai. Ia menahan ringisan, menggigit bibir agar tak mengeluarkan suara.
"Masih mau bohong?" gertak Angga.
Shakara semakin menunduk. Tubuhnya gemetar saat sang ayah menyuruhnya ke ruang bawah tanah.
"Susul aku, atau aku seret kau ke sana," ancam Angga dingin sebelum pergi.
Vandra tertawa kecil sambil menyeringai. "Mampus lo. Eh, tapi jangan mati dulu, ya," katanya sambil berlalu.
Di antara mereka, hanya Nathan yang menghampiri Shakara. Dengan sikap dinginnya, Nathan membantu adiknya berdiri. "Lain kali melawanlah, kau laki-laki, bukan?" katanya singkat.
Shakara tersenyum lemah. "Makasih, Bang." Nathan adalah satu-satunya orang di rumah itu yang memperlakukannya seperti adik, meski terkesan tak peduli.
"Obati lukamu, jangan lupa makan," ucap Nathan sebelum meninggalkannya.
Setelah membersihkan diri, Shakara merenung di kamar kecilnya yang bernuansa krem. Ia menatap bingkai foto di meja, memperlihatkan seorang wanita muda yang tersenyum sambil menggendong anak kecil.
"Bunda..." lirihnya.
Namun, lamunannya terhenti ketika Vandra mengetuk pintu. "Lo udah ditunggu Ayah. Ruang bawah tanah," ucapnya singkat lalu pergi.
Meski takut, Shakara berusaha tetap tenang. Ia berjalan menuju ruang bawah tanah dengan batin yang penuh keluhan.
"Shaka bakal dicambuk lagi? Luka yang kemarin aja belum sembuh..." pikirnya, menahan perasaan yang berkecamuk.
Saat pintu terbuka, suara bentakan Angga langsung menyambutnya. "Dasar biadab, berani sekali kau membuatku menunggu!" Sebuah pisau lipat melesat ke arah Shakara. Untung ia sempat menghindar, meski pipinya tergores.
"M-maaf, Ayah..."
"Maaf saja tidak cukup! Kalau ibumu tidak menyelamatkanmu waktu itu, dia mungkin masih bahagia bersama anaknya! Bukan terbaring lemah di rumah sakit selama 2 bulan!"
Tamparan keras mendarat di pipi Shakara, diikuti cambukan dan tendangan bertubi-tubi.
Darah mengalir dari keningnya. Tubuhnya terbentur meja hingga ia terjatuh ke lantai. Dalam tangis, ia hanya bisa berbisik, "Ayah, sakit... Shaka gak kuat..."
Namun, Angga tak berhenti. Ia bahkan memerintahkan pengawalnya untuk menyiksa Shakara hingga tak bisa keluar selama tiga hari.
Malam itu, tangisan dan erangan kesakitan memenuhi ruang bawah tanah. Tubuhnya penuh luka, sementara jiwanya semakin remuk.
"Apa ini akhir untukku?" pikir Shakara, saat akhirnya ia tak sadarkan diri.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
RASHAKA: Deep Revenge
Roman pour AdolescentsRashaka kehilangan hidupnya dalam sebuah pengkhianatan. Ia dibunuh oleh teman sekolahnya, seseorang yang ia anggap saingan biasa. Namun, perasaan benci dan iri dari temannya itu telah memuncak, membuat Rashaka jadi korban kebencian yang tak terduga...