Mega redum menggantung di langit yang mana tadi menjingga sekarang beralih menjadi kelabu. Serayu senja membawa hawa dingin yang serasa menembus pori pori kulit, membuat para insan bergegas pulang tuk mendapat kehangatan di rumah mereka masing-masing. Bulir bulir air dari nabastala mulai meluruh ke bentala, menjadikan aroma petrikor menyeruak di indra penciuman.
Kusentuh kaca yang berembun di sampingku, mengusapnya pelan tuk melihat keadaan di sisi lain kaca tersebut. Semua tampak samar karena derai air hujan, hanya sorot lampu kendaraan yang bisa tertangkap di iris mata milikku.
Bus yang kutumpangi melaju dengan pelan, membuat para penumpang dapat menikmati suasana hujan.
Setelah beberapa waktu terlewati dengan suasana beku, dapat kurasakan sesuatu yang hangat membungkus tubuhku. Sebuah jacket tersampir mengalihkan atensiku dan orang yang duduk disampingkulah sang pelaku.
" dingin, pakai! "
Hanya dua kata yang terlontar, dan aku cukup mengerti.
" makasih " seulas senyum ku persembahkan ke arahnya.
" tapi sejak kapan kak Satya bawa jaket ? "
Cukup heran karena aku tidak melihatnya membawa jacket.
" ada di tas "
Aku mengangguk mengerti.
" lalu kenapa tidak kak Satya pakai sendiri? "
Ia mengangkat bahunya acuh
" aku terbiasa dengan dingin "
Kemudian suasana menjadi beku kembali karena kak Satya memilih menghindari pembicaraan, terbukti dengan sosoknya yang memasang earphone di telinga dan mulai memejamkan mata. Seakan tak memberi celah padaku untuk sekadar lebih dekat dengannya.
☜☆☞
Alam memang penuh dengan kejuatan, siapa sangka mega redum yang tadi bertahta sekarang memilih lengser dari singgasananya. Membiarkan sang rembulan unjuk akan keindahannya, menyisakan tanah dan tumbuhan yang masih basah, menunjukkan bekas eksistansinya.
Kutopangkan daksaku di pembatas balkon kamarku, membiarkan anila malam menerpa kulitku.
Kutatap lekat sang candra di atas sana, mengagumi indurasmi yang seakan menyihir pekatnya malam menjadi keindahan dalam kegelapan.
Tak ayal juga, malam ini aku kembali merindukan Dia.
Kembali didekap renjana, sebuah rasa yang tak bermuara sampai menemukan presepsinya.Dia yang ku kira telah hirap dari buana, ternyata masih berjiwa dan berraga. Tanpa tahu di belahan bumi mana ia menapak.
Kenapa di saat aku sudah terbiasa tanpa hadirnya, semesta memberikan secelah harapan bahwa ia bisa ku genggam kembali.
Seiring dengan desiran rindu yang menerkam, netraku memejam memutar kembali kilas beberapa waktu lalu, yang berikan setitik harapan untuk membut rindu ini memudar.
Makan malam terlaksana sebagaimana mestinya, lalu seusainya kita berkumpul di ruang keluarga diiringi perbincangan ringan antara ayah, bunda dan aku. Tawaku tak henti menguar, melihat ayah yang sedang mode ngelawak. Ayah dan bunda yang duduk di atas sofa, lalu diriku yang duduk di karpet sambil bersandar di sofa antara ayah dan bunda. Aku menggores penaku abstrak di bukuku, entah itu tulisan maupun gambaran.
Sampai ayah mengucapkan sesuatu yang membuatku seketika membeku." ayah dapat titik terang tentang keluarga kandungmu nak "
Dapat kurasakan detak jantungku berhenti tuk beberapa saat lalu bedetak kembali dengan lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUARA RASA
عشوائيTak pernah terbesit rasa ingin kehilangan, tapi kita semua tau itu sudah menjadi hal pasti dalam sebuah siklus kehidupan. Walau dalam beberapa masa, membuat seseorang terpuruk dalam kubangan nestapa. Tapi menelisik sebuah takdir nestapa tetap diirin...