Minggu malam Taylor mengantar Justin ke bawah rumah sakit karena pria itu akan pulang kembali ke Los Angeles. Di balik wajahnya yang datar, hati Taylor berseru riang. Ah, akhirnya pria ini akan pergi! Mengapa tidak dari kemarin-kemarin saja? Bukan Taylor tidak suka pada Justin, ia hanyatidak suka pada Justin saat ia bersama dengan Christopher atau pun
Java.Mereka berada di parkiran, tidak begitu banyak orang malam itu. Justin melepaskan tangan Taylor begitu ia sadar bahwa sedari tadi ia memegang tangan wanita itu dari lantai atas sampai ke parkiran. Mengapa Taylor tak memberitahunya? Diam-diam Justin merasa Taylor masih menyukainya. Memang. Di samping mobil sewaan Justin dari hotel, Taylor melambai tangan.
"Sampai jumpa," ucap Taylor tersenyum. "Di neraka." Senyumnya menghilang.
"Kau selalu merusak suasana bersahabat seperti ini," ucap Justin memutar bola mata, tak suka.
Taylor hanya mengangkat salah satu bahunya lalu ia mengembus nafas panjang.
"Pergilah. Temui Emma-mu yang kau cintai itu. Benar bukan? Christopher aman dalam tanganku," Taylor memberi senyum paksa.
Tidak, wanita ini tak pintar berakting. Justin terdiam sejenak, memerhatikan wajah Taylor untuk yang terakhir kalinya karena sebentar lagi ia tidak akan melihat wajah itu selama beberapa waktu. Taylor tidak suka jika wajahnya terus diperhatikan seperti itu. Rasanya ada setan yang terus mengganggunya. Taylor menepuk pipi Justin. Kemudian ia tersenyum lembut.
"Pulanglah dan tinggalkan kami," ujar Taylor lembut namun sungguh perkataan itu sangat kejam di telinga Justin.
Selama ini Taylor memang menginginkan kepergian Justin dari sisi Christopher. Pantas saja Taylor mengantarnya ke parkiran. Justin mengangkat kedua alisnya selama beberapa detik lalu ia mengedik.
"Baiklah," ucap pria itu acuh tak acuh.
Tetapi bukannya berbalik ke mobilnya,
Justin malah melangkah maju lebih dekat pada Taylor. Bahkan sampai tubuh Taylor sudah terhimpit tembok. Posisi ini sangat tidak menguntungkan
Taylor. Ia tak bisa lari karena kemungkinannya begitu kecil untuk
melewati pembatas roda di belakang mobil Justin, ia bisa tersandung dan
ikut tinggal di rumah sakit bersama Christopher."Justin, jangan lakukan hal bodoh," ucap Taylor memeringati.
Justin menggeleng dan tersenyum licik. Tangannya menyentuh pipi Taylor dan mengelusnya lembut, kemudian jari telunjuk dan jempolnya memegang dagunya. Mata Justin menatap lekat padanya, anehnya, Taylor terhipnotis begitu saja. Nafas Justin menerpa wajah Taylor. Matanya jatuh pada bibir sensual Taylor. Ia mengecup ringan bibir itu, berhasil membuat Taylor terkesiap.
"Aku tentu saja tidak akan melakukan hal bodoh. Benar bukan?"
***
Kedua mata cokelat itu memerhatikan wanita yang duduk di atas lantai. Ia bosan. Ia ingin bermain, tetapi kepalanya pusing sekali. Untuk duduk pun rasanya ia akan muntah. Jadi yang ia lakukan hanyalah berbaring di atas tempat tidur dan berharap Ibunya berbicara atau membuatnya senang. Tetapi tiap kali ia tertawa, kepalanya selalu pusing. Oh, tidak, tidak. Ia ingin bertemu dengan pamannya yang dari kemarin ia tidak lihat. Ia tidak tahu selang apa yang menempel dan menusuk tangan kirinya, tetapi ia ingin
sekali melepasnya.Si Mata Cokelat itu mendesah keras, ia bosan sekali. Jadi seperti inilah perasaan orang sakit. Sangat tidak enak.
Seorang wanita muda tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan si Mata Cokelat. Wanita itu membawa sebuah papan dan pulpen di tangannya yang lain. Sebuah stetoskop juga sudah tergantung di lehernya. Namanya suster, itulah yang didengar si Mata Cokelat. Suster sungguh ramah padanya dan selalu menanyakan kabarnya. Karena mereka sudah berkenalan, wanita ini bukan orang asing. Suster berjalan menuju tempat tidurnya lalu memberikan senyum lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doomed (SShrimp)
FanfictionTaylor pikir, ia telah mendapatkan cinta sejatinya. Taylor pikir, ia telah menemukan satu-satunya. Tetapi ternyata pikiran itu jelas-jelas berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Di tahun kedua pernikahannya, Taylor baru saja melahirkan anak...