"Apa-apaan?!" Jeritan wanita itu membuat pria di sebelahnya sontak terbangun kaget, kedua siku-sikunya sudah menjadi bantu tumpuan tubuhnya.
Mata wanita di sebelahnya membulat dan tatapannya begitu panik saat melihat ke sekeliling kamarnya-lebih spesifik, tempat tidurnya. Nafasnya terengah-engah seolah-olah ia hampir saja dibunuh psikopat dan berhasil lolos.
Justin yang dibangunkan secara tidak manusiawi itu mengerang. Ia menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas tempat tidur dan mendesah pelan.
"Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan." Taylor terus berbisik panik.
Sebenarnya, apa yang salah dengan mereka? Justin tidak dapat melihat alasan mengapa Taylor bisa begitu histeris di pagi yang seharusnya menjadi awal yang baik.
Taylor menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan sambil menggeleng-geleng kepala. Justin melirik dari sudutnya, melihat wanita itu sangat menyesal. Justin berasumsi, sebentar lagi Taylor akan menembak dirinya karena Justin menyentuhnya.
"Hey, kita tidak membunuh siapa pun di sini," ucap Justin menyentuh lengan telanjang Taylor.
Kulit mereka bersentuh, menghasilkan aliran aneh di sekujur tubuh Justin. Aliran aneh itu pernah ia rasakan sebelumnya-bahkan baru ia rasakan tadi malam. Taylor menarik lepas lengan sentuhan tangan Justin.
Wajahnya yang cantik kembali terlihat saat ia menyingkirkan telapak tangannya dari sana. Taylor menarik nafas dalam-dalam. Ia menatap refleksi dirinya di cermin. Rambutnya yang biasanya rapi, sekarang hancur. Hanya sehelai selimut yang menutupi tubuhnya hingga batas ketiaknya-yang sekarang mengapit selimutnya. Namun ada yang berbeda di wajahnya. Entah apa itu, namun Taylor ada yang berbeda dari dirinya. Tidak, tidak, tidak. Bukan kehamilan tiba-tiba seperti ini.
Wajahnya tampak lebih.. bersinar? Taylor tak begitu yakin, tapi Justin tiba-tiba saja mengucapkan apa yang ada dipikirannya. Pria itu sudah duduk di sebelahnya, bahkan membawa dirinya lebih dekat pada Taylor sampai lengan mereka tersentuh. Taylor dapat merasakan dengan jelas otot-otot Justin di lengannya yang lembek.
"Kau tampak bersinar," komentar Justin biasa-biasa saja.
Taylor hanya menggeleng kepala tak habis pikir, itulah yang Justin katakan pagi hari ini setelah tentang pembunuhan itu. Taylor menarik seluruh selimut yang menutupi tubuh mereka hingga Justin terkejut dan tertawa kecil.
"Wow, Taylor. Hati-hati. Jika kau menginginkannya lagi kau bisa mengatakannya padaku." Justin dengan cepat mengambil bantal kepala yang baru saja Taylor tindih untuk menutupi kejantanannya yang masih terbuka bebas.
"Mengapa kita melakukan hal itu lagi?" Tanya Taylor berbalik, menatap Justin.
"Bercinta maksudmu?" Justin bertanya balik hingga Taylor memutar bola matanya.
Arti memutar bola matanya sama dengan penyiksaan masa depan. Dan arti masa depan sama dengan beberapa saat lagi.
"Karena kita berdua menginginkannya, Taylor. Akuilah! Kau menginginkanku dan aku menginginkanmu. Jadi apa yang harus kita tutup-tutupi?"
"Hubungan seharusnya tak pernah terjadi, Justin. Kau mengerti itu? Kita sudah berpisah. Di depan pengadilan. Kau yang menginginkannya dan kuberikan. Lalu tiba-tiba kau datang dengan segala alasanmu-"
"Oh, ini dia" Gerutu Justin.
"--aku merasa seperti orang terburuk kedua setelah kau, Justin. Emma mendatangiku, memintaku menjauhimu karena ia berpikir kita masih memiliki hubungan khusus. Maksudku, apakah aku semenyedihkan itu? Apakah aku terlihat begitu kasihan? Apakah aku terlihat menginginkanmu begitu putus asa? Tidak sama sekali, Justin. Dan sial, ini memang salahku juga. Tetapi cukup! Ini yang terakhir dan tidak akan ada hubungan badan selanjutnya. Setelah aku mandi, aku ingin berbicara lebih serius lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Doomed (SShrimp)
FanfictionTaylor pikir, ia telah mendapatkan cinta sejatinya. Taylor pikir, ia telah menemukan satu-satunya. Tetapi ternyata pikiran itu jelas-jelas berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Di tahun kedua pernikahannya, Taylor baru saja melahirkan anak...