Chapter 1

3 0 0
                                    

"Intan..."

Perempuan berhijab putih yang semula sedang menyapu seketika mengangkat kepalanya. Ketika tahu yang memanggilnya adalah Syifa, sahabatnya, dia langsung menggelengkan kepala. Syifa yang mengetahui apa kesalahannya hanya bisa memperlihatkan gigi putihnya.

"Biasakan kalau bertemu atau berpisah dengan seseorang itu mengucapkan salam, Syif," tegur Intan yang di angguki oleh Syifa yang kini sudah berada di sampingnya.

"Iya, Tan, iya, maaf! Aku lupa."

"Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi lain kali jangan lupa lagi lho. Salam itu penting, Syif."

Syifa mengacungkan jempol seraya terkekeh. "Siap, Intan Aulia, sahabatku, calon ustadzah..."

Kepala Intan kembali menggeleng. Ada-ada saja ucapan Syifa akhir-akhir ini. Hanya karena Intan masuk organisasi Rohis, Syifa selalu menyebutnya calon ustadzah. Bukan dia tidak mau, tapi menurutnya dia merasa tidak pantas untuk mendapatkan gelar itu. Dia merasa pengetahuannya masih jauh dari kata sempurna tentang agama Islam.

"Eh, kan, aku hampir lupa! Aku tadi mau pinjam buku paket mapel PAI. Kamu hari ini ada jam mapel itu kan?"

Intan mengerutkan kening. "PAI, mapel apa, Syif? Perasaan tidak ada mapel yang namanya---"

"Pendidikan Agama Islam. Masa kamu tidak tahu sih, Tan?" potong Syifa.

"Ouh..., kirain nama mapel baru!"

Syifa memutar kedua matanya malas. "Dari aku SD, mapel itu biasa di singkat PAI, Tan! Kamu sih, kurang bergaul."

Tanpa menjawab ucapan Syifa, Intan berjalan ke arah tempat duduknya. Dia membuka tas ungu miliknya dan mengambil buku paket PAI. Setelah itu, dia langsung menyerahkannya ke Syifa.

"Oke Tan, nanti istirahat pertama, aku kembalikan. Aku duluan yah." Ada jeda beberapa detik untuk Syifa tersenyum manis. "Assalamu'alaikum."

"Wassalamu'alaikum, Syifa. Bukan assalamual'aikum."

Syifa menepuk dahinya. "Iya, maksudnya, wassalamu'alaikum. Bye, Intan..."

"Wa'alaikumussalam," jawab Intan dengan di akhiri menggelengkan kepala.

Ketika punggung Syifa sudah tidak terlihat lagi, tiba-tiba Intan merasa kedua lengannya terasa ada yang menyenggol. Setelah kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, dia menemukan Aira dan Putri sedang mengarahkan pandangannya ke depan.

"Assalamualaikum Aira, Putri," sapa Intan.

"Wa'alaikumussalam, Intan," jawab Aira dan Putri secara bersamaan.

"Kalian sedang lihat apa?"

Aira tersenyum manis. "Lihat calon pacar kamu, Tan. Pasti, kamu habis ketemuan kan?" Ada jeda untuk Aira menyenggol lengan Intan lagi. "Cie..., pagi-pagi sudah dapat sarapan manis saja nih."

Putri berdehem. "Sebentar lagi ada yang melepas gelar jomblonya nih..."

"Astaghfirullah, Aira, Putri. Kalian jangan salah paham. Tadi itu Syifa." Intan menggelengkan kepalanya pelan. "Lagian, aku kan sudah pernah bilang, aku tidak akan pacaran sebelum pernikahan."

Aira menggenggam kedua bahu Intan. "Dengarin aku yah Intan, di zaman sekarang, pacaran itu wajar. Apalagi di usia seperti kita sekarang ini. Masa putih abu-abu adalah masa terindah dalam hidup. Kamu tahu kan, karena apa?" Intan mengangkat kedua bahunya.

"Karena kebanyakan orang memulai kisah cinta mereka di masa putih abu-abu, Intan. Itu saja tidak tahu! Iya kan, Put?" Putri mengangguk semangat.

"Say No To Pacaran. Itu adalah prinsipku." 

Say No To Pacaran ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang