chapter 13

0 0 0
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Tetapi Syifa dan Aira tak kunjung bangkit dari tempat duduknya. Dari tadi tatapan mereka tidak lepas dari pintu Kelas yang masih terbuka, menunggu Intan yang tidak kunjung datang.

"Assalamualaikum. Maaf yah, Aira, Syifa, tadi aku ada kumpul Rohis dadakan. Bahas acara isra' mi'raj," ucap Intan sambil menormalkan napasnya yang habis berlari.

"Wa'alaikumussalam," jawab Aira dan Syifa pelan.

"Santai, Tan. Baru satu jam. Kita kan sudah pernah nunggu penjelasan kamu sampai satu bulan lebih. Iya kan, Syif?" tanya Aira dengan di akhiri menyenggol bahu Syifa.

Syifa tidak menjawab, dia tetap pada posisinya yang diam sambil menopang dagunya menggunakan kedua tangan. Intan yang melihat langsung menghampirinya.

Seperti biasa, Intan menggenggam pelan bahu Syifa. "Masih kepikiran Putri yah, Syif?"

"Kenapa sih, Tan? Kenapa harus sesakit ini menerima sebuah penyesalan? Aku benar-benar tidak kuat. Aku ... tidak kuat," lirih Syifa.

"Bismillah, Syif. Kita pelan-pelan untuk kuat yah."

Syifa seketika menatap Intan. "Kamu ternyata tidak pernah berubah, Tan. Aku pikir, setelah apa yang sudah aku lakukan hingga membuat kamu pasti sakit hati. Kamu akan berubah. Kamu akan menjauhi aku, seperti Farel."

"In syaa Allah, tidak, Syif. Aku sudah pernah janji sama kamu kan? Aku tidak akan meninggalkan kamu. Aku juga sudah janji sama Putri. Aku akan selalu mendampingi kamu dan Aira."

"Makasih dan ... maaf, Tan" Syifa menundukkan kepala. "Boleh, aku dapat pelukan kamu lagi, Tan?"

Intan langsung berhambur memeluk Syifa. Aira yang melihat tidak tinggal diam. Dia berjalan mendekati Intan dan Syifa. Setelah itu, dia ikut berhambur memeluk erat kedua sahabatnya.

Tiga detik kemudian...

"Aira! Cepatan, lepas! Sesak nih, aku. Kamu itu kalau meluk biasa saja dong. Jangan kencang-kencang," teriak Syifa yang membuat Aira dan Intan langsung melepaskan pelukan mereka.

"Maaf ... tidak sengaja," ucap Aira sambil mengerucutkan bibirnya.

Syifa membuang napas kasar. "Ya sudah. Tapi lain kali jangan di ulang."

Detik itu juga, Aira merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk. Syifa yang menyadari seketika menyipitkan matanya seperti memberi himbauan.

Dengan gerakan pelan, Aira memeluk Syifa. "Cayang deh cama cifa."

"Ih..., lepas, lepas. Geli aku dengar ucapan kamu yang lebay."

Aira langsung melepaskan pelukannya dengan di akhiri terkekeh pelan. "Nanti juga terbiasa kok. Lihat saja."

"Tidak akan yah. Ingat, itu." Syifa mengalihkan pandangannya ke arah Intan yang ternyata sedang tersenyum manis. "Kenapa, Tan? Bahagia banget kelihatannya."

"Iya, aku memang sedang bahagia banget, Syif. Aku bahagia melihat hubungan kalian yang semakin dekat. Putri pasti di sana juga bahagia banget."

"Intan..., sudah dong. Jangan mancing air mata aku. Sudah seharian ini lho, aku nangis terus," teriak Aira sambil mengibaskan tangan kanannya di depan mata.

"Kalau mau nangis lagi, nangis saja, Ra." Syifa menundukkan kepala. "Kamu lupa yah, Ra, dari tadi kita nunggu Intan karena ingin mendengar cerita tentang Putri selama kita tidak ada di samping dia. Itu artinya, kita pasti akan nangis lagi."

Intan menggenggam tangan kedua sahabatnya. "Aku minta maaf yah. Aku sudah egois menyembunyikan Putri dari kalian."

"Tidak, Tan. Kamu tidak egois. Apa yang kamu lakukan sudah benar. Iya kan, Ra?" lirih Syifa dan di angguki Aira.

"Ya sudah, mau dengar sekarang atau---"

"Sekarang, Tan. Nanggung nih, pipi aku sudah basah. Supaya sekalian banjir," potong Aira yang membuat Syifa mengeluarkan napas kasar.

Kepala Intan mengangguk pelan. Sementara Aira dan Syifa membetulkan posisi duduk mereka agar bisa fokus mendengar cerita Intan.

"Putri selama satu bulan terakhir, tinggal di Rumah Peduli Hati yang pemiliknya seorang psikolog. Rumah itu berisi orang-orang yang memiliki masalah hati yang berat. Kebanyakan dari mereka mengalami depresi seperti Putri. Farel yang menyuruh aku membawa Putri ke sana agar mendapatkan penanganan. Karena ... Putri pernah berniat bunuh diri saat kedua orang tuanya bertengkar hebat hingga akhirnya berpisah. Sejak kecil, Putri sudah menjadi pendengar kedua orang tuanya saat bertengkar. Secara fisik, Putri memang terlihat baik-baik saja. Padahal sebenarnya batin dan pikirannya tidak pernah baik."

Aira mengusap air matanya. "Itu sebabnya, dia mengikuti aku untuk memiliki pacar. Kata dia ... dia ingin merasakan bagaimana  mendapatkan perhatian kedua orang tuanya walaupun menggunakan cara yang salah."

"Jadi Putri ... tidak pernah mencintai pacarnya?" tanya Syifa dalam keadaan wajah yang sudah kacau. Aira yang mendengar hanya bisa menggangguk pelan.

"Berarti selama ini aku sudah salah paham sama Putri," lirih Syifa sambil melanjutkan meneteskan air mata tanpa berniat mengusapnya.

"Terus, Tan. Kalau Putri sudah dapat penanganan, dia kenapa bisa pergi? Tidak mungkin karena bunuh diri kan?"



Say No To Pacaran ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang