Tiga hari kemudian...
"Intan!"
Kepala Intan yang semula tertunduk, detik itu juga terangkat. "Syi-fa? Ai-ra? Ha-hai, assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Syifa dan Aira secara bersamaan.
Intan menormalkan napasnya dan setelah itu tersenyum. "Aku senang, akhirnya kalian---"
"Kita bertemu kamu karena terpaksa. Jadi, tidak perlu basa-basi. Kita mau langsung to the point saja," ucap Syifa dengan nada dingin.
"Aku tahu dan aku tidak mempermasalahkan itu. Tadi aku hanya ingin bilang... aku senang kalian akhirnya kembali rukun dan sekarang terlihat sangat dekat."
"Siapa bilang? Aku sama Aira masih---"
"Please deh, Syif! Jangan mulai keributan sama aku. Ingat, ini di Masjid, kalau kamu lupa."
Detik itu juga, Syifa menutup mulutnya. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Masjid. Aira yang melihatnya hanya bisa mengeluarkan napas kasar.
"Tan, boleh, aku sama Syifa bicara sama kamu di luar Masjid? Di Rooftop, misalnya."
Intan mengangguk. "Boleh, ini aku juga sudah selesai shalatnya. Tapi... apa kamu tidak mau shalat dhuha dulu? Nanti aku tungguin."
"Emm... lain kali saja, Tan."
"Ya sudah, kalau gitu kamu duluan saja. Nanti aku menyusul."
Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, Aira pergi meninggalkan Masjid. Sementara Intan melepaskan mukenah dan melipat sajadah yang habis di pakainya. Setelah itu, dia menaruh di lemari Masjid dengan rapi.
"Bismillahirrahmanirrahim," gumam Intan sebelum akhirnya melangkahkan kakinya keluar Masjid.
***
"Di mana, Putri? Kasih tahu aku, sekarang!"
Suara itu berasal dari Syifa yang sedang berdiri sambil menatap hamparan langit yang tampak cerah. Intan yang baru saja menginjakkan kakinya tepat di tangga menuju Rooftop, detik itu juga menghentikan langkahnya.
"Jawab, Intan!"
Bukannya langsung menjawab, Intan justru melanjutkan langkahnya mendekati Syifa dan Aira dengan di ikuti seseorang di belakangnya. Aira yang dari tadi menatap Intan seketika tubuhnya terasa tegang.
'Farel? Kenapa... kenapa dia ada di sini juga? Apa jangan-jangan... Intan?' ucap Aira dalam hati.
"Tan, kamu... ajak Farel?" tanya Aira yang membuat Syifa langsung membalikkan badannya.
"Iya... karena---"
"Kamu sengaja, Tan! Kamu senang yah, lihat aku ribut sama Farel? Iya?"
Intan menggeleng pelan sambil menggenggam lengan Syifa. "Sama sekali tidak, Syif. Aku justru---"
"Sudahlah! Tidak perlu kamu mengelak! Aku sudah tahu semua sifat asli kamu! Dasar pembohong! Munafik!" Syifa mendorong tubuh Intan kasar. "Aku benci kamu, Intan! Aku muak dengan wajah sok polos kamu!"
Untuk beberapa kalinya, Syifa kembali mengungkapkan isi hati. Tapi inilah kali pertama dia meluapkan emosinya hingga sebesar ini. Baik Aira, Intan, maupun Farel merasa tercengang melihatnya.
"Syif---"
"Kamu diam, Ra! Jangan sok mau bela Intan. Kamu sendiri juga benci kan sama sikap sok alim dia yang seperti ustadzah. Iya kan?!"
"Oke, iya. Tapi tidak seharusnya kamu menyakiti Intan, Syif. Dia sahabat kamu. Dia selama ini sudah baik sama kamu."
Syifa terkekeh. "Baik di depan. Busuk di belakang! Itu yang namanya sahabat? Iya, Ra?"
"Intan itu jahat, Ra! Dia merebut posisi aku untuk mewakili sekolah dalam olimpiade, dia menyingkirkan posisi aku sebagai juara paralel saat PTS kemarin, dan dia... dia merebut Farel, Ra!" lanjut Syifa dengan di akhiri meneteskan air mata yang dari tadi di tahannya.
Beberapa menit setelahnya, suasana Rooftop tiba-tiba senyap. Syifa dan Aira sibuk dengan pikiran masing-masing. Intan yang kini sudah berdiri pun lebih memilih untuk menundukkan kepala.
Akhirnya, tanpa mengulur waktu lagi, Farel langsung mengambil sikap melipat kedua tangannya di depan dada sebelum dia angkat bicara. Dia berusaha sebisa mungkin agar tetap terlihat tenang. Walaupun rasanya hati benar-benar gersang.
"Sudah, dramanya? Sekarang, giliran gue yang bicara. Kalian berdua cukup dengar dan diam!"
Detik itu juga, Putri dan Aira saling memandang satu sama lain. Berbeda dengan Intan yang justru tersenyum tipis dengan posisi kepala sudah di angkat pelan.
"Pertama, gue di ajak Intan ke sini, karena gue yang berhak menjawab semua pertanyaan lo berdua tentang Putri. Alasannya apa? Karena gue... gue adik kembar Rachel Putri Firmansyah. Ya, gue sama Putri adalah saudara kembar. Gue tahu, ini tidak bisa di percaya. Tapi ini benar adanya."
Farel menatap tajam Syifa. "Kedua, Intan tidak pernah merebut posisi lo. Dia hanya menolong gue untuk menyadarkan lo kalau kepintaran yang dari dulu lo banggakan, tidak akan membuat lo bahagia, tapi justru membuat lo sengsara."
"Ketiga, perjodohan gue dan Intan di batalkan. Intan yang membatalkan. Karena kata dia, gue nggak sepenuhnya mencintai dia. Kata dia, di hati gue hanya ada satu nama perempuan yang dari dulu gue perjuangkan. Untuk memastikan, dia meminta gue shalat istikharah. Ternyata hasilnya benar, cinta gue sepenuhnya hanya untuk perempuan yang manggil gue dengan sebutan Pare." Farel terkekeh. "Cinta memang bodoh yah. Padahal Intan baik banget. Cinta juga memang buta yah, sudah tahu pacarnya nggak baik, tapi tetap saja di pertahanin sampai merelakan hubungan dengan sahabat-sahabatnya hancur."
"Sudah, cukup! Aku tahu, kesalahan aku benar-benar fatal. Aku tahu! Tapi tolong, jangan menghakimi aku terus-menerus. Aku hanya ingin bertemu Putri. Tolong kasih tahu aku, di mana, Putri? Di mana?" teriak Aira dengan suara serak.
"Cepat, Pare, di mana, Putri? Tolong kasih kita kesempatan untuk bertemu Putri," lirih Syifa yang kini sudah berada di pelukan Aira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say No To Pacaran ✓
Roman pour AdolescentsTentang misi Intan Aulia untuk ketiga sahabatnya, yaitu SAY NO TO PACARAN