Prolog

120 14 5
                                    

Jika bisa kembali ke masa lalu, aku ingin ibu bertemu dengan lelaki yang baik. Lelaki yang bertanggung jawab, supaya ibu tidak perlu menjalani kehidupan menyedihkan karena perlakuan ayah. Ibu? Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu, semasa aku menjadi anakmu hingga kau dijemput oleh sang pencipta.

~ Prolog ~

Malam semakin larut, keindahan langit gelap perlahan mulai hilang bersama dengan buliran air yang turun. Dinginnya malam menembus kulit anak berusia lima belas tahun yang tengah berteduh di emperan toko.

Sean Arshaka, bocah berusia 15 yang tinggal di panti asuhan Annazah setelah ibunya meninggal dunia terkena kanker stadium akhir. Malangnya lagi, sang ayah telah meninggalkannya saat ibunya sakit-sakitan.

Dahulu, hidup Sean tidak seperti ini. Semenjak ayahnya di PHK, keluarganya menjadi bangkrut, hidup dipinggiran kota yang sangat kumuh, ayah yang berubah menjadi pemarah dan sering menganiaya anak dan istri, mabuk-mabukan. Ah sudahlah, dia adalah laki-laki yang sudah tidak pantas disebut ayah yang baik.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah kematian sang ibu. Sean menjadi pribadi yang sangat ambisius dalam segala hal, terutama menjadi orang sukses demi membalaskan dendam kepada ayahnya sendiri.

Dendam? Tentu saja! Bagaimana tidak, seorang suami yang menceraikan istrinya hanya karena tidak mau hidup miskin.

Bukankah mustahil anak seumur lima belas tahun telah mempunyai rasa dendam?

Ketahuilah. Diumurnya yang baru menginjak lima belas tahun, Sean sudah bisa mengurus hidupnya sendiri, bahkan mengurus ibunya selama berbulan-bulan seorang diri! Ya seorang diri.

Jika tidak berada di panti asuhan pun, Sean masih bisa menjalani hidup dan tinggal di tempat lamanya, di kolong jembatan. Tidak salah dengar, saat perkampungan tempat tinggalnya digusur, Sean dan mendiang sang ibu menjadi gelandangan. Tidak punya uang, tidak punya rumah.

Itulah yang membuat Sean dewasa sebelum waktunya. Sedari kecil dirinya sudah mengalami hidup yang sangat sulit, tidak selayaknya anak seusianya yang tidak perlu merasakan rasanya kelaparan, rasanya mengatur uang untuk membeli makan dirinya atau membeli obat untuk ibunya.

Tapi, itu sudah menjadi kehidupan yang akan selalu dikenang sampai kapanpun. Karena sejak berada di panti asuhan, hidupnya sedikit membaik. Tidak pernah kelaparan, tidak pernah kedinginan saat tidur, dan tidak perlu lagi menghabiskan malam berselimutkan kardus yang menjadi tempat tidurnya.

“Sean!” samar-samar suara terdengar mengusik gendang telinga ditengah hujan lebat.

Sean menyipitkan mata, melihat dari kejauhan wanita paruh baya datang mendekat dengan payung besar dipegangnya.

“Ibu Sari bilang bawa payung, kan?” gerutu wanita yang sudah berada di depannya.

Sean tidak membalas Bu Sari. Toh, Sean pikir hanya mendung yang tak akan ada hujan turun, setidaknya sampai dia pulang dari warung.

Bu Sari mengambil alih keresek belanjaan dari tangan Sean. “Sini deket Ibu, biar gak kena hujan.”

Sean menurut. Ia berjalan berdampingan dengan Bu Sari. Senyum bocah itu tulus merekah saat Bu Sari membiarkan baju sisi kirinya basah karena tidak ingin Sean terkena butiran air hujan.

Bu Sari adalah pengurus anak panti asuhan Annazah, jika kita melihat bu Sari yang menjemput Sean, sudah dipastikan sifat bu Sari seperti apa.

Sean sangatlah beruntung berada di panti asuhan Annazah. Mengenal dan mendapatkan banyak kasih sayang dari bu Sari.

Beranjaknya mereka dari sana membuka lembaran kehidupan.


Dia Sean Arshaka

Dia Sean Arshaka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SEAN ARSHAKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang