Part 3

257 31 1
                                    

Tanpa sadar jemariku bergerak sendiri menyentuh kamera layar ponsel dan memotret satu lagi fotonya. Entah kenapa aku telah kencanduan untuk memotret setiap momen. Meski itu tidak akan membuatnya abadi, hanya ada satu hal yang permanen di dunia ini yaitu hal yang disebut kenangan.

Aku yang bersembunyi dibalik pohon besar, perlahan menarik diri. Melangkah seringan mungkin, begitu jarak sudah sangat dekat dengan punggungnya tiba-tiba timbul ide jahil untuk membuat kejutan. Berharap bisa mengubah suasana hati pemuda itu.

"KYAA PARK JIHOON!!" Aku menepak pundaknya kemudian mencengkram keduanya lengannya, berusaha menjatuhkan Jihoon ke sungai tapi bercanda.

"ASTAGA!" Refleks berteriak, pemuda bermarga Park itu mengelus dadanya, syok. Hampir saja berhasil terjun ke bawah. "Heh, dasar tidak sopan! kalau aku jatuh sungguhan bagaimana?"

Aku terbahak parah melihat muka masamnya. Itu sangat lucu, dia seperti seekor panda kecil.

"Maaf-maaf. Hanya bercanda, kok." Aku duduk menyejajarkan diri.

Jihoon berdecak kesal, mengerlingkan bola mata dengan sinis. Agaknya ingin melontarkan kata kasar tetapi dia telan lagi. Memilih berpaling pada pemandangan lain.

Aku diam. Menatapnya lama, memperhatikan tiap gerak-gerik kecil yang mengalun begitu saja. "Kalau kau jatuh sungguhan, pasti aku akan bertanggungjawab atas luka itu. Aku akan jadi obatnya." Aku berceletuk setengah sadar dan tidak. Sebenarnya kalimat itu memuat hal lain. Tidak hanya luka fisik saja tapi mental juga.

Ya,

aku ingin mengobati semua hal yang membuat dia sakit dan tertekan. Kalau bisa biar aku saja yang ambil bagian terluka, dia cukup bahagia saja.

Jihoon lantas melemparkan pandangan heran. Mungkin dia bisa merasakan makna yang tersemat dalam frasa yang ku membelah udara.

Seketika salah tingkah, aku yang gelagapan membuang muka. "Ma--maksud ku itu, aku yang akan menanggung pengobatannya. Berhentilah memandangku, mengganggu tau!"

Dari ekor mata, aku bisa melihat dia mengukir seutas senyum hangat sembari menggeleng tak percaya. "Dasar naif!"

Meski nada volume suaranya sangat pelan, aku bisa dengar. Tapi memilih cuek, membuka tas backpack dan mengeluarkan dua kota bekal makan siang.

"Ini sudah hampir sore. Ayo jangan lewatkan makan siang," ucapku. Menyodorkan satu bagian padanya.

Pemuda itu langsung menerima pemberianku. Dan membuka tutup kotak bekalnya. "Hei, aku sedang diet. Tidak bisa makan kalori sebanyak ini."

"Jangan diet. Berhentilah membuat dirimu kelaparan! Kau, 'kan sedang tidak baik sepenuhnya. Lagipula para fans-mu pasti akan khawatir jika idolanya sampai jatuh sakit!" Aku berceloteh panjang lebar. Memasang ekspresi tertekuk sembari mulai menyumpit makanan dan melahapnya sekaligus.

Jihoon mendesah, ingin menolak. Tangannya bergerak berniat mengembalikan kotak itu namun aku segera menyergah, "Hargai sedikit kerja keras ku, dong! Aku sudah bangun pagi membuatnya dengan susah payah!"

Bagus! kali ini kalimat ku pasti berhasil membuat dia pasrah. Pemuda itu akan merasa tidak enak jika masih menolak.

Jihoon mulai menatap makanan itu, aku tau sebenarnya dia tidak berselera. Tapi mau bagaimana pun keadaannya makan adalah hal yang paling penting untuk menunjang kehidupan. Apalagi menghadapi rasa sakit.

Belum sempat sampai ke dalam mulut, sumpit ditangan Jihoon patah. Untungnya makanan itu jatuh lagi ke dalam kotak. Aku langsung menjeda aktivitas, meraih sumpit cadangan di dalam tas dan memberikan padanya.

Langsung bergerak cepat, pemuda itu membuka sumpit dan menjepit satu tempura. Baru saja bergerak dua senti sumpit itu bernasib sama seperti sebelumnya. Aku yang sejak tadi memberhatikan dia, menghela napas panjang sembari mengunyah makanan yang membuat pipiku gendut.

"Tidak perlu mengeluarkan tenaga sebanyak itu, Park Jihoon! Makanlah dengan tenang!" Geram, aku merebut kota bekalnya. Menggunakan sumpit milikku untuk mencapit makanan bagiannya tanpa meminta izin.

"Ayo buka mulut mu, biar ku suapi."

"Heh! Aku bukan anak kecil. Berikan saja sumpitnya, aku bisa makan sendiri." Jihoon berusaha mengambil alih sumpit dan kotak bekalnya.

Namun aku lebih sigap menghindar, memasang raut sadis. "Tidak bisa! ini yang terakhir, sudah tidak ada cadangan lagi. Jika kau yang pegang pasti rusak, diam dan menurut lah padaku!"

Sungguh tidak sadar aku sudah bersikap seperti ibu rumah tangga yang cerewet, padahal biasanya aku tidak terlalu banyak bicara. Tapi berada didekatnya membuatku sedikit berbeda. Dalam hal lain.

Dia menghela napas lagi. Mau tak mau menerima suap demi suap makanan yang ku sodorkan. Waktu terasa berjalan lambat saat itu, sesekali mencuri pandang satu sama lain dan membuang muka ketika saling tertangkap basah. Sebenarnya aku gemas menahan tawa, rasanya seperti dalam adegan drama yang biasa ku tonton.

Tanpa sadar suara kikikan keluar dari mulutku yang sedang memalingkan muka, Jihoon menyadarinya menepak lenganku, pelan. "Kita sedang tidak mengobrol, ya. Kenapa kau tertawa? Jangan membuatku takut!"

Aku mengibaskan tangan berulangkali tepat diantara wajah kami. "Tidak-tidak, spesies sepertimu mana mungkin mengerti~" Dengan sengaja aku menggodanya, semakin mengencangkan tawa. Mulai dari situ pertengkaran kecil terjadi, Jihoon benar tidak mau mengalah, dia cukup menyebalkan.

Tak terasa kami sampai pada ujung hari. Sebelum cakrawala semakin berganti gelap gulita, dia mengajakku pulang.

"Eh--tunggu sebentar!"

Tepat ditengah jembatan pertama yang kami seberangi sebelumnya, aku sengaja mencekat langkah. Membuat dia berbalik memperhatikan ku yang sedang mengacak isi tas.

Tak lama kemudian, aku mendapatkan benda yang di cari. Tapi tidak langsung mengeluarkannya, aku menahan sebentar didalam tas. Pandangan kami bertemu untuk lima detik, aku segera menarik benda itu dan menyodorkan pada pemuda yang terkena kilauan kuning cahaya senja.

"Ini untukmu." Aku melukis sebuah senyuman.

Jihoon nampak bingung. Memandang benda itu dan aku bergantian.

"Ini bunga snowdrop. Kau suka bunga, 'kan? aku tidak bisa merangkai kata indah. Jadi ini adalah bentuk dukungan dan luapan perasaan yang tidak bisa ku deskripsikan."

Senyumku semakin dibuat mengembang, ketika Jihoon mau menerima buket bunga dengan kelopak berwarna putih itu.

"Bunga yang melambangkan harapan baru. Aku ingin kau tidak berhenti berharap di masa depan, meski banyak badai dan hujan yang menerpa, tetap lah bertahan melampaui kerasnya batu karang. Terima kasih sudah bekerja keras selama ini, Park Jihoon. Aku tidak akan pernah berhenti, aku akan selalu mendukungmu."

Repost 25-10-2023

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Repost 25-10-2023

Snowdrop || Park Jihoon✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang