Part 4

332 27 5
                                    

Netra Jihoon terbelalak mendengar untaian kata yang lolos begitu saja dari bibirku. Di ujung kalimat, aku membungkuk dalam. Sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih. Hingga aku menegapkan diri, dia masih terdiam, mungkin bingung harus menguntai frasa seperti apa.

Berkali-kali angin sore menerjang, mengacak suraiku yang tergerai. Sembari menunggu reaksi darinya, aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, menggulirkan bola mata sebentar lalu menaruh atensi padanya lagi.

Dari atas jembatan kami saling berpandangan. Ku lukis lengkungan bulan sabit yang penuh ketulusan dalam paras yang tidak terlalu cantik. Sesaat setelah terlihat daun kering berjatuhan dari pohon,

tanpa kata Jihoon menarik tanganku, membuat tungkaiku bergerak maju. Mengakibatkan tubuh kami bertemu. Kurang dari satu detik, mataku terbelalak, jantungku bedetak lebih cepat menyadari dia mendekap cukup erat. Menenggelamkan wajahnya pada pundak kecil ku.

"Ji-

Jihoon... a-"

"Aku mohon tunggu sebentar."

Spontan aku membeku begitu suara beratnya menginterupsi. Sedikit gemetar dengan isakan kecil yang menyertai.

Jihoon menangis.

Pundakku yang tadinya tegang, merosot pasrah.

Dia yang biasanya kuat, nampak begitu lemah sekarang. Dia yang biasanya secerah mentari, terlihat redup seperti lampu jalanan yang hampir mati. Dia yang biasanya membawa tawa, terkesan paling banyak menelan jentaka.

Hatiku teriris.

Tak tega mendapati dia yang cukup tersiksa menghadapi kejamnya semesta. Berlari dalam dunia hiburan memang tidak semudah itu.

Perasaan dalam dadaku mulai membuncah naik sampai pelupuk mata, menjadikannya genangan tirta.

Aku membalas rengkuhannya, penuh kelembutan. Berkali-kali mengelus punggungnya, berusaha menenangkan.

"Iya, tidak apa-apa. Tumpahkan saja semua, kau sudah terlalu lama bertahan. Menangis lah untuk menghargai perasaanmu, Park Jihoon."

Tanpa sadar cairan bening lari, turun melewati pipiku. Sungguh aku tidak bisa menahannya lagi. Rasanya perit, apalagi Jihoon yang merasakan sendiri.

Bukankah sejak awal ini yang ku inginkan?

Maksudnya, aku ingin memeluk Jihoon dengan seluruh perasaan, memberi sandaran yang cukup nyaman, dan menyalurkan kekuatan. Ya, walaupun itu tidak berpengaruh besar tapi setidaknya kehadiran ku sedikit berguna.

"Yama ... terima kasih, ya." Jihoon menyudahi pelukan itu, kemudian tertawa hambar sembari mengusap kasar sisa air mata di pipinya. "Ah, maaf. Ini memalukan sekali."

Tangan ku mengepal erat bersamaan dengan bibir bawah yang ku gigit menyaksikan gelak palsu yang ia tampakkan untuk menutupi satu kelemahan. Itu tidak lucu, malah terlihat semakin menyedihkan.

"Aku mengerti." Sengaja menarik napas, aku memberi jeda. "Kau tidak perlu sok kuat! Maksudku jika kau terluka tidak masalah menangis, itu artinya kau masih punya hati. Jangan terlalu keras menahan diri, jiwa mu juga butuh sedikit kebebasan untuk berekspresi."

Alih-alih mengangguk atau menyetujui ucapanku, dia malah semakin mengencangkan tawa, membuat sudut siku-siku diantara kedua alisku tercetak begitu dalam.

"Kau itu bersisik juga, ya ... kadang-kadang," komentar Jihoon. Kemudian berbalik dan mengambil langkah lebih dulu usai menepuk pucuk kepala ku.

"Ayo pulang! langit sudah semakin gelap."

Hei, apa-apaan itu?!

Meski ingin melancarkan protes, tapi entah kenapa malah muncul setangkai senyum berbunga ketika aku menyentuh bekas tepukannya dengan kedua tangan. Muncul euforia yang membuat hatiku seakan mengembang lebih luas lagi.

Snowdrop || Park Jihoon✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang