1. Musibah Pertama

7 0 0
                                    

"Cinta? Dalam kamus hidupku, cinta adalah Mama dan Ayah. Yang artinya, keberadaan mereka adalah bentuk cinta yang nyata. Sedangkan perlakuan mereka adalah kesempurnaan cinta yang sesungguhnya." Gadis bergamis pink pastel dengan jilbab senada mengemukakan pendapat. "Ini diluar cinta sama Allah dan Rasul, ya. Kalo itu udah pasti soalnya."

"Emang banyak definisi cinta, tapi yang mau aku bahas cinta ke lawan jenis, Yumna. Cowok yang kamu taksir misalnya." Erika mengerling gemas.

"Gak ada! Aku mau jadi jomblo abadi dengan limpahan harta biar bisa bantu orang-orang yang membutuhkan." Jawaban Yumna ucapkan dalam satu tarikan napas.

"Mana bisa begitu. Manusia itu gak bisa lepas dari fitrah, Na. Yaitu fitrah menyukai dan membutuhkan lawan jenis. Kamu bilang gitu mungkin karena belum ada cowok yang kamu sukai," sahut si gadis bermata sipit sambil menaikkan kacamata kotak yang sedikit melorot dari hidung mungilnya. Sani.

"Yumna kan masih bocah, mana ngerti naksir-naksiran, San. Maenannya aja masih boneka ama kucing," kekeh Hafsah. Yang kemudian disetujui oleh yang lain sampai Yumna mencebik, tak suka.

"Eh, jangan salah, bocah sekarang udah ngerti cinta-cintaan loh. Ponakan aku baru SD udah punya pacar. Lah aku? Tantenya udah mau karatan masih aja belum laku."

Gelak tawa dari perempuan-perempuan yang rata-rata berjilbab lebar terdengar meriah seketika. Lalu kembali menutup mulut saat mengingat bahwa tawa seperti itu tak pantas, dan mungkin saja mengganggu pengunjung lain.

"Udah, udah, cepet habisin makanannya. Udah mendung tuh. San, nanti minta tolong rekap hasil rapat hari ini, ya. Terus kirim ke aku. Ada kerjaan mendadak nih dari kantor." Amira, sang sekretaris di sebuah komunitas amal yang mereka geluti serta merta memutus candaan teman-temannya.

"Siap, Kak. Serahin aja ke aku."

Tak ada lagi yang bersuara setelah itu. Satu per satu dari mereka menghabiskan makanan, lalu mengumpulkan uang untuk dibayarkan sekaligus oleh Yumna, si bontot dari perempuan-perempuan yang berjumlah sembilan orang di sana. Bukan karena umurnya yang kecil, tapi karena postur tubuhnya paling mungil.

Bersama, mereka keluar dari area rumah makan. Langit mendung menyambut, lengkap dengan suara guntur yang cukup menggelegar. Semilir angin dingin membelai gamis dan jilbab yang mereka kenakan.

Yumna, si gadis mungil bergamis pink pastel tadi berjalan paling belakang sambil menghitung uang kembalian.

"Astagfirullah, kembaliannya kelebihan. Bentar, ya, aku balikin dulu."

Yumna langsung berbalik begitu saja tanpa menunggu respon teman-temannya yang berjumlah delapan orang. Langkahnya terburu-buru memasuki area kasir di sebuah rumah makan. Jalan yang gadis itu lewati terbuat dari kayu, hingga setiap pijakannya menciptakan decit berisik. Gamis dan jilbab berwarna pink pastel tampak menari-nari. Membuktikan begitu lincahnya langkah gadis itu. Kurang lebih sepuluh meter, Yumna harus berjalan sebelum sampai ke tempat tujuan.

Kedua alis yang tersusun rapi nyaris bertemu. Mata bulat dengan bulu mata tipis namun terlihat indah milik Yumna bergerak liar menatap seorang laki-laki dengan seragam berlogo rumah makan yang berdiri di balik meja kasir.

"Ada yang bisa dibantu lagi, Mbak?" Si penjaga kasir menyapa dengan senyum terukir di bibir. Benaknya masih mengingat dengan jelas, gadis di depannya ini baru saja keluar bersama teman-temannya setelah membayar makanan.

"Mas, tadi uang kembaliannya double. Ini saya kembalikan."

Uang dua puluh ribu yang masih rapi terulur ke atas meja. Tangan putih yang terlihat halus milik Yumna lantas mendorongnya sedikit supaya lebih dekat kepada lelaki penjaga kasir.

"Astagfirullah. Terima kasih, Mbak." Rasa syukur membuat si penjaga kasir sedikit menunduk kepada lawan bicaranya. Tangannya kemudian dengan cekatan memasukkan uang itu ke dalam laci.

"Sama-sama. Lain kali lebih teliti, ya, Mas." Lekukan manis di pipi kiri tercetak jelas ketika Yumna tersenyum.

"Siap, Mbak. Terima kasih."

Masih disertai senyuman, Yumna berlalu meninggalkan rasa kagum dalam hati pegawai di balik kasir yang tak melepas pandangan pada jalan yang dilewati sang gadis.

Gelegar guntur disertai kilat terdengar memekakkan telinga begitu Yumna keluar. Gadis itu buru-buru menghampiri teman-temannya yang tersisa dua orang sedang menunggu di parkiran.

"Udah, Na?" Erika hanya memastikan, sambil tangannya terampil memakai jas hujan dengan bawahan berbentuk rok.

Yumna mengangguk sekilas.

"Ya udah, yuk cepet, keburu ujan. Mendung banget nih. Yang lain udah pada duluan."

Bersamaan dengan ucapan itu terlontar, rintik kecil mulai turun disertai kilat yang kembali menyambar, menciutkan keberanian Yumna. Namun tak ada pilihan lain, kucing mungil berkaki pendek kesayangan ditinggal di rumah bersama ayahnya pagi tadi. Bisa jadi sekarang tinggal sendirian karena sang ayah sempat pamit ingin mengunjungi rumah sahabatnya.

Doa-doa keselamatan terucap. Bibir tipis Yumna tak pernah kering menyebut Asma Allah sepanjang kendaraan roda dua yang terus dilajukan dengan kecepatan sedang. Apalagi saat rintik kecil itu perlahan menjadi hujan deras hingga sedikit mengaburkan pandangan. Kilat dan guntur yang turut meramaikan keadaan, semakin menguatkan kepasrahannya kepada Tuhan.

Yumna berusaha fokus. Dia tertinggal jauh dari Erika dan Sani. Tubuhnya mulai kepayahan. Pusing disertai tubuh lemas yang sering dirasa kini mulai menyerang, melemahkan kekuatan.

Kuat, Yumna! Kuat! Ayo, kasian Yumy di rumah sendirian.

Kucing manjanya tidak bisa ditinggal lama. Dalam pandangan yang mulai berkunang-kunang, Yumna memaksa tetap melajukan kendaraan. Hingga tak sadar motor yang dikendarainya tak berbelok di tikungan.

BRAK!!!

Tembok pembatas jalan dihantam motor begitu saja, hingga menciptakan bunyi debum keras berpadu derasnya suara hujan dan guntur. Yumna terpelanting dari atas motor, lalu berguling hingga beberapa meter ke tengah jalan, menghentikan kendaraan pengguna jalan lain.

Erangan kesakitan tersamarkan oleh gelegar suara guntur. Genangan air di sekitar tubuh Yumna dengan cepat berubah berwarna merah. Suasana berubah mencekam dalam sekejap.

***

Hujan lebat disertai gelegar guntur dengan kilatan cahaya menyambar-nyambar, membuat ciut nyali. Volume air mulai naik, sedikit menggenangi jalanan.

Dari arah berlawanan, sebuah ambulance meraung-raung menegangkan. Erika dan Sani menepi sebelum kemudian saling pandang dengan benak mulai dijejali kekhawatiran.

"San, Yumna mana?" Erika berteriak, memastikan suaranya dapat terdengar Sani.

Keduanya menoleh ke belakang, mencari sosok perempuan berbadan mungil dengan motor scoopy berwarna abu-abu hitam.

"Kok gak ada, sih?"

"Firasat aku gak enak banget liat ambulan."

"Sama. Mana Yumna belum keliatan lagi."

Keduanya terdiam. Dibiarkannya air penuh rahmat yang tetap tumpah menimpa tubuh mereka di balik jas hujan.

"Susul yuk," ajak Erika. "Aku gak tenang nih."

Harap-harap cemas kedua insan itu memutar kendaraan. Basah lidahnya dengan zikir dan doa. Mobil ambulan yang meraung-raung tadi masih terngiang, menegangkan perasaan.

Kerumunan orang di tengah jalan dengan ambulan yang tadi dilihatnya menyebabkan jalanan sedikit macet. Telinga Erika dan Sani menangkap teriakan orang-orang di sekitar. Tentang adanya kecelakaan. Tentang seorang perempuan berjilbab. Juga tentang motor abu-abu yang menghantam pembatas jalan. Semua itu membuat keresahan yang dirasakan semakin menakutkan.

"Erika! Motor Yumna, Rik!"

Di belakang, Sani menepuk-nepuk pundak temannya dengan histeris. Lalu menunjuk motor scoopy berwarna abu-abu yang ringsek di bagian depan, tergeletak di pinggir jalan.

"YUMNA!"

.
.
.

To be continue...

Bicara Tentang Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang