Lelaki dengan perawakan sedikit kurus yang terbaring di ranjang pasien itu membuka mata. Semula sedikit berkedut-kedut karena cahaya yang masuk ke dalam retina sangat mengganggu. Namun setelah merasa nyaman, matanya lalu terbuka sempurna.
Mata tua yang mulai dihiasi keriput itu menatap nanar ke arah langit-langit berwarna putih di atas. Bibir yang tertutup alat bantu pernapasan bergerak gemetar menggumamkan sebuah dzikir, atas rasa syukur karena diberi kesempatan untuk kembali menatap dunia.
Benaknya mulai menduga. Suasana ini bukan di ranjang kamarnya. Infus yang tergantung di sisi kiri tertangkap oleh sudut indra, meyakinkan Bastian kalau dirinya tengah berada di rumah sakit.
Sekelebat ingatan lewat di kepala tentang peristiwa yang membuatnya harus terbaring di ranjang rumah sakit.
Putrinya... ya, putrinya.
Bastian merasakan hujaman di jantung yang terasa menyakitkan setelah mendengar kabar pilu tentang sang putri.
Allah... bagaimana keadaan putriku? Di antara rasa sakit, lelaki yang rambutnya sudah bertebaran uban itu menenteskan air mata. Teringat putrinya yang belum sempat dia ketahui bagaimana kondisinya. Keadaan dirinya yang tak berdaya menambah pilu hati si lelaki baya. Kembali, bibirnya bergerak gemetar, menyebut asma Allah untuk menenangkan hati yang teramat khawatir serta gelisah.
"Alhamdulillah, Om udah sadar."
Seruan dari pintu yang tiba-tiba terbuka membuat Bastian menghentikan lantunan dzikir. Dilihatnya, lelaki jangkung anak sahabat berjalan mendekat.
"Gimana perasaannya, Om?" Tatapan Wafi menyiratkan kelegaan. Kursi tunggal di samping ranjang ia duduki sembari menatap Bastian dengan senyuman.
Mulut Bastian yang ditutup alat bantu oksigen bergerak-gerak. Reaksi yang Wafi pahami bahwa sahabat bapaknya itu ingin mengucap sesuatu. Maka dia dekatkan telinga ke arah mulut bastian yang perlahan tutupnya terbuka.
"Gi-mana ke-adaan put-ri Om?" Bastian memaksa tanya meski dengan napas tersengal-sengal akibat rasa sakit yang didera.
"Ibu udah mengurus putri Om di rumah sakit. Om gak usah khawatir."
Terdengar napas kelegaan dari bibir Bastian. "Wa-fi, kam-u sudah me-nikah?"
"Belum, Om."
"Bo-leh Om ti-tip amanah?"
"Tentu saja, Om. Apa itu?"
"Ti-tip put-ri Om," lirihnya dengan suara parau dan terbata. Lelehan air mata kembali menganak sungai dan tertangkap mata Wafi.
Tangan besar panjang Wafi bergerak mengusap buliran air yang terus mengalir dari mata Bastian.
"Titip bagaimana maksud, Om?"
"Tolong nikahi putri Om. Om ingin ada yang menjaga dan melindungi dia sebelum Om pergi."
Bastian melirih istighfar. Namun, benaknya tak bisa menghentikan kekhawatiran akan kehidupan putrinya di masa mendatang. Putri kesayangan yang ia jaga sepenuh jiwa dengan kedua tangannya setelah sang istri meninggal dunia.
"Tolong Om, Wafi. Om percaya sama kamu... dan bapak ibumu."
Bastian tidak menawarkan, melainkan langsung meminta, Wafi tahu. Sebuah harapan besar terlihat di sana. Sementara Wafi masih diam. Dia tak menyangka pertemuan kedua dengan sahabat bapaknya ini akan berujung pada sebuah permintaan yang begitu berat Wafi kabulkan.
Wafi Ingin menolak, tapi tak sampai hati menghancurkan harapan lelaki baya yang begitu dibanggakan bapaknya.
"Om Bastian itu baik banget, Fi. Dulu waktu kami masih sekolah dan main bareng, dia sering bantu bapak. Orang tuanya kaya tapi gak pernah ngerasa lebih tinggi dari siapa pun, termasuk bapak. Sampe sekarang pun masih sama. Bangga bapak punya sahabat kayak dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bicara Tentang Cinta
Romance"Wafi, kamu sudah menikah?" "Belum, Om." "Boleh Om titip amanah?" "Tentu saja, Om. Apa itu?" "Titip putri Om. Tolong nikahi putri Om. Om ingin ada yang menjaga dan melindungi dia sebelum Om pergi."