2. Musibah Kedua

3 1 0
                                    

"Kemarin Ibu ketemu Aina. Akhwat yang mau dita'arufin sama kamu, Fi. Walaaah, lembut banget orangnya. Baik, supel lagi. Coba aja kamu gak nolak waktu itu, mungkin sekarang dia udah jadi mantu ibu."

Pembicaraan mengenai jodoh adalah topik yang paling Wafi hindari. Diusianya yang sudah memasuki 28 tahun, lelaki jangkung pemilik nama lengkap Wafi Muttaqin belum pernah sekali pun dekat atau membahas perihal seorang perempuan. Bukan tak berminat, hanya saja waktunya telah tersita dengan setumpuk pekerjaan. Dalam agenda rencana kehidupannya, Wafi menempatkan menikah di nomor sekian setelah ilmu, bisnis, dan sederet rencana dalam list yang sudah tercatat.

Pernah dia ditanya kesiapan untuk menikah oleh seorang Ustaz yang menjadi gurunya sejak masa kuliah. Dengan sikap santai seperti biasa, Wafi menganggap pertanyaan itu seolah candaan yang tak perlu ditanggapi dengan serius.

"Saya belum punya istana buat menyambut Ratu Balqis, Ustaz."

Mereka tertawa. Lelaki paruh baya yang sering disapa Ustaz Firdaus paham, bahwa murid kesayangannya belum juga berkeinginan untuk menyempurnakan separuh agama.

Lain halnya dengan Harum, ibu tercinta yang sangat ingin dibahagaiakan Wafi, seolah tak pernah bosan dengan topik yang selalu sama setiap hari. Sebanding dengan topik harga cabe naik, beras makin mahal, minyak apalagi. Yang semua itu membuat skil mengeluarkan kosa katanya semakin terasah.

"Gak baik loh, Bu, berandai-andai. Bilangin Ustaz, nih. Ustaz, liat, Ustaz!" Teriakan Wafi disambut delikan mata oleh Sang Ibu.

"Umurmu itu udah 28 tahun akhir, Fi. Masa masih betah jadi jomblo. Gak kasian apa kamu sama ibu? Udah keriput gini masih belum nimang bayi." Cerocosannya ditanggapi dengan senyum oleh putra tunggalnya yang duduk di seberang, dibatasi oleh meja makan panjang yang di atasnya dipenuhi oleh berbagai jenis sayuran untuk dimasak.

Tak jauh dari tempat ibu dan anak itu, seorang lelaki paruh baya hanya duduk terdiam sambil menikmati pisang goreng dengan secangkir kopi tanpa gula. Ya, dia memang diam, tapi telinganya tegak mendengarkan pembahasan yang selalu sama setiap hari. Hafal betul dia dengan kebiasaan istrinya yang tak bisa diam. Itu sebabnya, lelaki paruh baya hanya memilih mengabaikan.

"Ya, Ibu tinggal bikin bayi lagi sama Bapak. Beres." Wafi menyahut sekenanya.

"Gendeng! Ibu maunya cucu, bukan anak lagi."

"Gapapa kali, Bu. Aku siap jadi Kakak termanis buat adek bayi nanti."

Seraya merentangakan tangannya yang panjang dan senyum terkembang, Wafi menggerak-gerakkan alis ke arah ibunya. Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik di sisa usia itu mendelik sekaligus melempar anaknya dengan serbet di tangan.

"Bocah ini kalo dibilangin jawab terus."

Dari jarak tempatnya duduk, Wafi menyatukan empat jari, telunjuk dan jempol kiri dan kanan, membentuk sebuah kotak yang diarahkan kepada Harum yang sedang berjibaku dengan berbagai macam sayuran. Matanya belonya memicing, menatap Harum dalam bingkai yang Wafi buat.

"Kalo diliat-liat, ibu ini masih cocok punya bayi. Masih keliatan muda gini kok."

"Jangan ngaco kamu!"

"Serius. Pasti seru kalo Ibu punya bayi lagi. Aku rela deh gantiin popoknya pas Ibu lagi capek. Ntar aku juga gendong kalo lagi ada di rumah."

"Kenapa jadi ibu yang disuruh punya bayi?! Dasar anak Agung Widodo!"

Lelaki berkaus sedikit basah sehabis olah raga pagi itu tertawa, diikuti lelaki paruh baya yang sedari tadi mendengarkan sambil geleng-geleng kepala.

"Denger, kan, anakmu bilang apa, Pak? Gak ada sopan-sopannya."

Bicara Tentang Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang