🌷🌷🌷
Suatu hari, Erika merasa tubuhnya kurang sehat. Kepalanya terasa berat, dan mual di perut. Dia berusaha menyelesaikan pekerjaannya, tapi ketika akan mencuci piring, pandangannya berkunang-kunang, dan ia jatuh pingsan. Di rumah saat itu hanya ada Dewi. Perempuan itu panik. Lalu segera menelepon suaminya.
Fandi bergegas pulang dan segera membawa Erika ke rumah sakit. Setelah melalui pemeriksaan, ternyata Erika dinyatakan hamil. Penyebab pingsannya karena kelelahan dan juga anemia. Oleh dokter disarankan untuk tidak beraktivitas berlebihan.
Dalam perjalanan pulang, Fandi menciumi Erika berkali-kali. Ia bahagia sekali, akhirnya akan menjadi seorang ayah.
"Mas, bu Dewi gimana?,""Sudah, kamu tenang saja. Sampai rumah nanti, kamu istirahat, biar mas yang urus soal Dewi,"
Erika hanya mengangguk. Dia ikuti kata-kata Fandi.
"Sakit apa Erika mas?,"
Fandi meminta Erika masuk kamar, baru dia mengajak Dewi duduk dan bicara.
"Wi, sebenarnya, aku sudah menikah siri dengan Erika, tanpa sepengetahuanmu. Dan sekarang, dia hamil anakku,"
"Apaa??!!!,"
"Ya, mungkin aku salah tak meminta ijin padamu, tapi, aku butuh istri yang bisa mengurusku. Aku sibuk, dan aku ingin istriku ada di rumah menyambutku sepulang kerja, melayani makan dan mengurus rumah juga diriku. Terlebih lagi, sanggup melayaniku di ranjang, dan mau memiliki anak bersamaku,"
Dewi terperangah. Dia tak menyangka penolakannya pada Fandi akan berujung dengan suaminya menduakannya. Dan itu dengan pembantunya sendiri. Memang, Dewi mengakui Erika berwajah cantik meski tampil sederhana. Tapi, dirinya bermadukan pembantunya sendiri? Itu yang masih tidak bisa ia terima.
Ya kalau Fandi memilih wanita yang sekelas dirinya, mungkin dia akan lebih mudah menerima, tapi kedudukannya sebagai istri Fandi, dikalahkan oleh Erika yang hanya pembantu rumah tangganya? Seperti sebuah tamparan besar untuknya.
"Lalu, mas maunya gimana dengan hubungan kita?,"
"Terserah padamu saja, yang pasti aku akan meresmikan pernikahanku dengan Erika. Aku tidak ingin anakku lahir dan menjadi omongan orang,"
"Apa kata orang dengan semua ini nanti, mas?,"
"Aku tak peduli apa kata orang, Wi. Selama ini aku bertahan juga demi kata orang, orang tua kita, kamu, semua yang mengenal kita. Tapi sekarang, aku mau mencari kebahagiaanku sendiri. Aku lelah, Wi. Kalau kamu masih mau bertahan dengan pernikahan kita yang begini, silakan saja. Tapi, mungkin aku akan pergi dari sini. Aku akan pindah bersama Erika ke tempat lain,"
"Ini artinya, mas memaksaku untuk bercerai?,"
"Aku tidak memaksamu. Hanya, ku pikir, untuk apa bertahan dalam pernikahan seperti ini? Kamu pun berhak mengejar bahagiamu, Wi. Mungkin setelah kita tidak bersama, kamu akan lebih mudah menentukan apa yang terbaik untukmu sendiri,"
Beberapa lama keduanya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga Dewi kembali bersuara.
"Baiklah mas. Aku mengerti apa yang harus ku lakukan. Aku terima jika kita harus berpisah. Karena mungkin itu yang terbaik untuk kita. Mas benar, pondasi rumah tangga kita sangat rapuh. Kasih sayang pun rasanya tipis saja antara kita. Tapi, bolehkah aku menemui Erika sebentar saja?,"