Psikopat Gila

5 4 0
                                    

Pukul satu pagi Waktu Indonesia Barat.

Bulan menggantung tinggi dilangit-langit, berteman awan hitam yang bergerak cepat, mengotori keindahan langit malam dengan kegelapannya. Satu dua guntur mulai terdengar, diiringi sepoian angin kencang, menyibak dedaunan pohon, mengganggu tidur seekor anjing di pinggir jalan, menandakan badai sebentar lagi akan tiba.

Benar saja, setetes demi setetes air hujan turun. Ribuan tetesannya mengguyur atap-atap perumahan, menciptakan jejak buliran yang menempel di jendela kaca, menemani malam ke sekian bagi para insan yang sebagian telah terlelap dalam mimpi masing-masing.

Mungkin sekitar seminggu lalu Lie berhenti begadang demi menyelesaikan novelnya, dan sialnya, malam yang melelahkan ini datang lagi. Bedanya, kali ini tangannya tidak sedang mengetik naskah cerita, atau membaca buku, atau menonton drakor yang di sukainya. Tidak ada, Lie hanya diam meringkuk di sudut ranjang kamar. Melamun. Memikirkan skandal beberapa jam lalu, memikirkan seseorang yang membuat jiwanya ketakutan setengah mati begini.

Drrt... Drrt...

Lie menoleh perlahan, ponselnya berbunyi. Siapa itu? Alan? Matanya menatap awas. Lima detik terlewati dan ponselnya masih bergetar. Baiklah. Gadis itu meyakinkan diri, lalu tangannya tergerak menggapai ponselnya di samping bantal. Menatap layarnya dalam.

Nomor tak dikenal.

Lie menelan ludah. Ini beneran nomor Alan? Dari mana cowok itu tahu nomornya? Ia yakin tak pernah memberikan nomor pribadinya pada siapa pun. Sesaat, muncul sebuah spekulasi yang paling mungkin terjadi.

Ia di stalking.

Gadis itu menarik nafasnya. Untuk seukuran novelis seagresif Alan yang dengan mudah mendapatkan nomor pribadinya, menemukan alamat rumahnya plus mengancamnya dengan artikel sialan tadi, Alan cocok disebut psikopat.

Lie tidak ingin memercayainya. Namun sembilan puluh persen dari total keseluruhan kemungkinan adalah... iya.

Ini pasti nomor Alan.

"Mau apa lagi si brengsek ini..." Lie menatap layar ponselnya gemas.

Sekali lagi gadis itu berusaha meyakinkan dirinya, ia minum air putih sejenak, lalu menenangkan detak jantungnya yang kembali bertalu-talu, pikirannya masih diteror kejadian sebelumnya.

"...Halo?" Lie bertanya dengan suara pelan dan hati-hati.

"Lieee!! Lie ini gue Erlangga! Gue ganti nomor!"

Lie melongo.

Ngeng, ternyata itu bestie bobroknya.

"Save ya, Li. Gue baru aja ganti hp, merek-"

"BANGSAT LO!"

"Hah?" Erlangga di sana terkejut.

"BANGSAT LO ERLANGGAAAAA!!"

"LO KENAPA SIH!?"

"YA LO NGAPAIN NELPON GUE MALEM-MALEM?!"

"GUE CUMA MAU BILANG GANTI NOMOR!"

"SEKARANG? JAM SATU PAGI? GILA YA LO!?"

"LAH KEMARIN GUE NELPON JAM TIGAAN LO-NYA GA MASALAH!"

"ITU KARENA GUE EMANG BELUM TIDUR!"

"Terus sekarang?"

Lie diam, pertanyaan itu seolah menginterogasinya. Erlangga mungkin tidak merasa bersalah, tapi cukup sedikit pancingan untuk membuatnya peka bahwa Lie tidak baik-baik saja.

"Lo ga tidur kan?"

Dugaan yang tepat, Lie tidak tahu harus membalas apa.

"Kenapa? Makalah lo belum selesai?" dan mulailah, sisi Erlangga yang paling dia benci, "mau gue bantu? Tapi ga bakal sebagus lo sih. Atau editor lo maksa bikin novel lagi? Ada pembaca yang gangguin lo, nge stalking lo?"

Save Me AuthorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang