Nona Plagiat

17 5 0
                                    

Pagi berjalan cepat di kota Jakarta, menyambut siang hari yang mulai memanggang atap-atap bangunan, mengubah kontras cahaya langit sehingga begitu terik bahkan hanya untuk sekadar mendongak. Tiada yang berubah, jalanan selalu ramai, kendaraan hilir mudik menuju tujuan masing-masing, menyusuri pusat kulineran, mall, balai kota, juga toko buku.

Toko buku itu ramai, orang-orang berlalu lalang mencari buku yang mereka inginkan. Riuh rendah mengisi ruang di antara rak buku, tak peduli karyawan toko yang gelisah, atau penjaga kasir yang terganggu, apalagi tempelan poster di dekat pintu masuk yang berbunyi:

Dilarang membuat keributan!

Ada seseorang, bahkan masih bisa dibilang 'gadis' untuk seukuran mahasiswi tahun ketiga sepertinya. Gadis itu tersenyum geli, menyaksikan toko buku yang tengah diserbu puluhan penikmat novel fantasi. Tak sampai setengah hari sejak toko itu buka, buku yang dicari-cari telah habis. Akhirnya untuk percetakan pertama bulan ini ia bisa tersenyum puas. Uang digital secara otomatis akan masuk ke rekeningnya, sebagai hasil dari jerih payahnya dalam menulis novel. Novel yang justru sekarang tengah viral di kalangan pembaca.

Sebut saja nama penanya ketika kumpul bareng teman, rekan kerja, atau kerabat. Pasti ada yang tahu, karena sudah dua tahun belakangan ini karyanya naik daun.

Namanya Lie, gadis usia dua puluh satu tahun yang bekerja sebagai penulis novel. Orang-orang mengenalnya sebagai Lie Casava, penulis novel fantasi best seller yang terkenal di kalangan penulis aktif. Ia hidup sebagaimana ekspektasi masyarakat, cantik, berkharisma, kaya raya dan tinggal di salah satu deretan perumahan elite kota Jakarta. Setidaknya itulah yang dia banggakan dari dirinya sendiri sampai dia mendengar sebuah kalimat dari seseorang.

Kalimat yang kemudian menjadi awal dari kehancurannya.

"Ini sampah."

Lie mendelik, memastikan tidak salah dengar, "Maaf?"

Tentu saja Lie tak semudah itu membiarkannya masuk. Berkali-kali penjaga satpam menyuruhnya pergi, hingga dia mengangkat salah satu novelnya yang rilis dua tahun lalu, bilang kalau dia menemukan semacam penyimpangan fatal dalam novel Lie yang sudah terpublikasi itu. Sialnya, gadis itu terbius tawarannya.

"Sepertiga penulis di dunia ini kebanyakan menulis omong kosong, dan jujur, gue kecewa sama reputasi lo yang nyatanya gak lebih dari penulis bangsat." Lanjutnya.

Gerakan jemari si gadis yang mengaduk teh terhenti. Lie diam, memejamkan mata sejenak, sebisa mungkin mengatur nafas yang naik turun. Orang ini, bahkan belum kenalan saja sudah sombong sekali, seolah paling tahu eksistensi dalam berkarya, seolah sudah membaca semua novel di dunia, dan membandingkannya semudah membedakan buah yang bagus atau yang busuk.

Lie memperhatikannya lebih lekat. Dari wajahnya kira-kira dia berusia dua puluhan, masih muda dan tampaknya sebaya dengannya. Rambut hitam legam modelan aktor drama, dan kacamata tipis yang melapisi netra abunya menatap netra aqua Lie dingin. Lie mengernyit, sebentar... wajahnya seperti tidak asing.

"Lupa ya? Kontestan yang berdiri di sampingmu ketika pengumuman pemenang lomba tahun lalu?" Cowok itu tersenyum tipis, "sepertinya kita harus bernostalgia."

Seketika, Lie menyadari ada hal yang aneh dengan cowok ini, entah kenapa senyumannya itu bermakna sesuatu. Sesuatu yang begitu gelap dan penuh dendam. Lie menatapnya hati-hati, aura orang ini terasa berbahaya.

Gayanya berbicara, wajahnya yang datar dan tatapan matanya yang dingin, seolah alam semesta berhasil digapainya untuk menjebak Lie ke dalam pertemuan ini. Variabel-variabel ini kemudian berhasil mengusik memorinya bahwa ia pernah melihat wajah cowok itu di suatu tempat.

Lie mengingat-ingat, jika yang dibicarakannya adalah kompetisi itu, tahun lalu memang ada lomba membuat sebuah novel selama tiga puluh hari, dan Lie memenangkan juara dua.

Save Me AuthorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang