Cerita ini diambil dalam kacamata Aksa, si anak pendiam yang harus menyaksikan kekejian perbuatan Bima. Lama-kelamaan diam itu berubah menjadi berang. "Bima! Selamat menjumpai karmamu." Aksara, 2023.
●●●
Perangainya buruk. Sungguh buruk. Barangkali di hati semua orang merapalkan hal yang sama, yaitu ganjaran untuk Bima. Orang-orang menyebutnya biang onar. Tetapi, dengan begitu percaya diri, Bima ingin disebut BOSSMAN yang dia artikan kepala. Gilanya bahkan dia juga mengganggu orang yang bahkan tidak pernah berurusan dengannya.
Jangan salahkan Bima sepenuhnya atas semua sikap nakalnya. Dia terlahir di keluarga yang tidak beruntung. Ayahnya pergi, sedangkan ibunya sibuk menjaja diri sebagai wanita malam. Miris memang. Sekali dua kali kalimat ini dapat jadi maklum beberapa orang. Sayangnya Perbuatan Bima sulit untuk dimaklumi lagi. Kenakalan itu kian menjadi, hingga puncaknya.
"Kau tahu tidak, sih Bima dipanggil kepala sekolah?" Itu Sara! Anak paling cerewet seantero sekolah.
"Bukannya udah biasa, ya? Kok, kayak berita baru aja , sih?" jawaban Aksa tidak acuh pada kabar itu. Sangat biasa saja jika itu untuk Bima.
"Kali ini kasusnya berat, Sa." Sara sangat bersemangat.
"Apa sih, Ra? Aku tidak perduli, ah. Terakhir kali aku menegurnya, berujung aku harus pulang dengan sepeda kempes." Aksa masih kesal atas keusilan Bima tempo hari. Lalu, dia menjawab lagi, "lagi pula aku malas berurusan dengan berandal sepertinya."
"Iya, sih. Tapi kali ini berat banget, deh kayaknya."
"Emangnya kenapa?" Aksa menunjukkan ketertarikan atas respon antusias yang Sara tunjukkan. Anak ini tidak akan diam jika tidak diladeni.
"Bima ditangkap polisi," tukasnya.
"Hah, serius? Memangnya dia berbuat apalagi, sih? Tapi, buktinya aja dia masih bisa sekolah hari ini. Paling-paling, sih karena kebut-kebutan liar lagi." Pemuda itu sudah menduganya sejak awal.
"Kayaknya rumor kau anak apatis itu bisa aku katakan valid. Coba, lah sesekali kau mengecek grup kelas, huh." Sara sedikit kesal atas respon ogah-ogahan Aksa.
Aksa membuka ponselnya, lalu terbelalak dengan beberala foto yang teman-temannya kirim. Salah satu teman mereka mengirim foto Bima yang tengah diringkus polisi. Berniat meminta klarifikasi sang empu langsung. Padahal minat saja tidak bagi Bima untuk bergabung dengan mereka.
"Bima sudah kelewatan." Aksa memegang ponselnya kuat, mungkin setengah meremat. Sesuatu yang dibacanya barusan membuat kepalanya mendidih. Hal ini tidak bisa ditolerir lagi. Matanya melirik pada sosok Bima yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. Mungkin akan segera kembali ke kelas.
Sara kelagapan mengatasi raut berang Aksa. Tidak tahu kenapa menjadi begitu marah. Bukannya, pemuda ini bahkan tidak perduli atas informasinya tadi. Enggan terkena imbas, Sara menyingkir. Ini tidak harus jadi urusannya.
Sesampainya di depan kelas, Bima harus menelan tinjuan keras. Mengagetkan lagi sang aktor itu adalah Aksara yang bahkan membunuh semut saja dinilai tidak mampu. Entah apa yang kini membuatnya begitu marah terhadap Bima.
Tidak seperti biasanya yang langsung membalas, Bima terlihat menerima pukulan itu. Cukup mengagetkan. Bahkan, Aksa sekarang lebih mirip Bima, daripada Bima itu sendiri.
"Kau kelewatan Bima!" hardik Aksa penuh amarah. Rasanya ingin memberi pukulan satu kali lagi.
"Mungkin aku tidak bisa dipercaya. Tapi kali ini aku berkata jujur. Aku tidak melakukan hal keji itu."
Aksara terkekeh. Yang benar saja! Dipikirnya tadi sudah akan beradu jotos dengan seseorang yang mengaku boss semua orang. Tapi tidak. Tingkahnya bahkan seperti pesakitan yang harus dibela atau dipercaya.
"Kau kenapa tidak ditahan? Bukankah seharusnya kau dikurung dipenjara, huh?" Aksa ingin marah. Apa ada orang lain lagi yang tidak mendapat keadilan sama seperti adiknya? Hukum yang lucu.
"Aku memang tidak melakukan apa pun. Untuk apa aku di hukum?"
"Bajingan!" Aksa maju dan seperti ingin menghabisi Bima sekuat tenaga.
Melihat suasana yang semakin tidak terkendali. Pemuda berbadan tinggi dan besar berusaha menahan Aksa yang akan menggapai Bima.
"Aksa! Hentikan! Kau bisa dipanggil ke BK nanti." Wowik memegangi Aksa, lalu berkata, "kau pergi saja dulu, Bima. Aku tidak tahu kalian ini sebenarnya ada masalah apa."
Selepas kepergian Bima, Wowik bisa melepaskan Aksa yang sedikit sudah tenang. Rasa-rasanya sudah seperti melihat Bima yang sedang mengamuk saja, atau bahkan lebih parah.
Kini Aksa tidak bisa melihat Bima dengan sama lagi. Lenyap sudah pandangannya untuk Bima sebagai anak kurang beruntung. Bima memang tidak pantas untuk dikasihani.
Memang benar jika ini bukan urusannya sama sekali. Tapi Aksa sungguh membenci kasusnya. Susah payah, dia berdamai pada keadaan. Tapi, bajingan Bima membangkitkan amarahnya.
"Aku bisa sepertimu Bima, atau bahkan lebih parah." — Aksara.