Menunggu adalah hal paling melelahkan,
tapi menunggumu seperti tidak ada lelahnya.
🍂🍂🍂
Setelah kejadian kemarin, Aden merasa hari-harinya akan lebih berwarna. Meski ada beberapa alasan yang dirasa tidak mungkin, tapi setidaknya dunia yang pernah ada itu akhirnya kembali.
Sepagi mungkin ia berangkat ke sekolah. Walaupun biasanya ia akan berangkat awal karena jadwal piket menyambut anak-anak di gerbang, kali ini rasanya ia jauh lebih bersemangat.
"Pagi, Pak. Wajahnya cerah sekali, sampai mataharinya kalah dan milih bersembunyi," sapa Pak Rudi, satpam sekolah SD Al-Karomah.
"Pagi juga, Pak Rudi." Aden hanya membalas sapaannya dan mengabaikan godaan Pak Rudi.
Ia memarkir motor kemudian menuju ke depan pintu gerbang dan bergabung dengan beberapa rekan guru yang sudah berbaris di sana. Senyum, salam, sapa, salim, begitu semboyan yang diangkat oleh sekolah dasar yang sudah menjadi tempat mengajarnya.
Sesekali Aden memusatkan pandangan pada beberapa wali murid yang datang dengan mobil. Ia juga memeriksa dengan saksama wajah anak didiknya yang menggunakan bed kelas dua.
Sayang sekali keberuntungan tidak berpihak kepadanya, sebab sampai saat hampir jam masuk, sosok yang ia tunggu tidak juga hadir.
"Pak ...."
"Bu ...," ucap Aden bersamaan dengan suara yang memanggilnya juga.
Keduanya mendadak kikuk sampai tangan wanita yang sedang hamil besar itu mempersilakan Aden untuk berbicara terlebih dahulu.
"Apa siswa yang kemarin bermasalah itu izin? Karena sepertinya dia tidak datang hari ini."
"Oh, iya, Pak. Ibunya mengirimkan surat keterangan dokter, Rama butuh istirahat selama dua hari."
Aden mengangguk dan tersenyum sejenak, "Sekarang giliran Ibu yang menyampaikan sesuatu. Ada apa Bu Arini memanggil saya?"
"Begini, Pak. Waktu cuti saya sudah dekat, jumlah guru sebagai wali kelas terbatas, apa tidak keberatan jika Pak Aden menggantikan saya selama masa cuti?"
"Saya tidak masalah, asal semua sudah ada persetujuan dari kepala sekolah, Bu."
"Aman, Pak. Pak Kepsek dan guru dari kelas atas sudah mengetahui hal ini dari awal tahun pelajaran."
"Siap kalau begitu, Bu."
Bak gayung bersambut, sepertinya Aden tidak perlu uasaha yang keras untuk lebih dekat dengan seseorang yang ia rindukan ini. Satu fakta yang terbuka, kemarin ia tahu bahwa Galuh Candra Kirana, masa lalu yang ia tunggu ternyata menuju status baru.
Kemarin, Ratu Prameswari—sang kakak—awalnya sangat kekeuh untuk tutup mulut ketika ia menanyakan kabar Galuh melalui sambungan telepon. Namun, semua itu menjadi sia-sia belaka.
"Nggak apa-apa kalau Teteh masih tetap tutup mulut, toh aku bisa tanya langsung. Rama Candra Arvian nama anaknya 'kan? Dia sekolah di sini, di tempatku mengajar," ucap Aden.
"Sial! Bisa-bisanya, ya? Padahal Galuh ngerasa sekolah itu aman dari semua kenalannya. Salah sendiri dia nggak tanya-tanya dulu," ujar Ratu dari seberang telepon
"Mungkin jalur langit lebih berpihak sama aku, Teh."
"Cih, lagakmu. Jangan ganggu dia, Den. Dia sedang butuh ketenangan."
Setelah selesai mengajukan beberapa pertanyaan, kakak beradik itu akhirnya mengakhiri pembicaraann. Aden merasa puas sudah mendapat titik terang, tetapi tidak puas karena ada beberapa hal yang disembunyikan oleh sang kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cerita Cinta Bandung Bondowoso
General FictionKata orang cinta pertama itu tidak akan bertahan dan bisa terganti kapan saja. Namun hal itu tidak berlaku untuk Aden, cinta pertamanya justru awet. Hatinya benar-benar tertambat pada sahabat kakaknya yang bernama Galuh. Meski perbedaan usia menjadi...