Kinanti Citra Ardhani

599 66 4
                                    

"Ayah minta maaf. Setelah kenaikan kelas nanti, kita harus pindah ke rumah Aki sama Enin karena rumah ini juga akan dijual."

Aku masih ingat raut sendu Ayah saat itu. Ketika ruang diskusi kami, yang biasanya lebih banyak diisi rencana-rencana milikku dan Kemal dengan penuh binar, berubah kelam ketika Ayah justru memberi kabar yang mengagetkan.

Usaha kami bangkrut.

Keluarga kami bukan keluarga kaya raya. Tapi kehidupan kami cukup terjamin dengan berdirinya perusahaan percetakan yang Ayah rintis bersama Ibu. Namun seiring berjalannya waktu, zaman yang berubah, saingan yang bertambah banyak, dan pasar yang mulai menghilang, membuat perusahaan Ayah banyak hutang hingga tidak mampu lagi berjalan karena hutang yang sudah terlalu menumpuk.

Tidak ingin membuat kami lebih sengsara, Ayah memutuskan untuk menutup hutang dengan menjual semua aset yang dia punya. Sesuai perhitungan, uang sisa hasil penjualan setelah menutup hutang, Ayah gunakan untuk membuka usaha baru di kampung halaman kami.

Ya, hidup di Ibukota tidak lagi menjadi pilihan masuk akal bagi Ayah, sehingga Ayah memutuskan untuk membawa kami semua ke rumah almarhum Aki dan Enin di pinggiran Kota Bandung. Pertimbangan biaya hidup yang lebih rendah dibanding Jakarta, Ayah mantap memulai hidup baru kami di sana.

Sebagai anak satu-satunya Aki dan Enin, rumah peninggalan mereka memang sepenuhnya milik Ayah. Selama ini, Ayah juga yang merawatnya dengan meminta tolong pada seorang tetangga dekat rumah. Hingga akhirnya, Ayah sendiri yang akan menempatinya.

Rencana Ayah memang sudah matang. Ayah sudah menyiapkan kepindahan kami dengan sempurna. Ayah dan Ibu benar-benar mengutamakan kenyamanan kami sebagai anak sampai-sampai kami tidak sadar kalau Ayah sedang mengalami kesulitan karena hampir tidak ada yang berubah dari keseharian kami. Mereka tetap menjadi Ayah dan Ibu yang selalu menjadi pendengar yang baik dan paling pengertian pada anak-anaknya.

Ayah dan Ibu hanya meminta pengertian dari kami, bahwa kami harus berpindah tempat tinggal. Termasuk pindah sekolah bagi Kemal yang waktu itu duduk di kelas delapan. Sedang untukku, ceritanya lain lagi.

"Kinan, kalau ambil kedokterannya di Bandung aja gimana, Nak?"

Ayah dan Ibu sangat tahu kalau menjadi Dokter adalah cita-citaku sejak lama. Aku bahkan sudah mati-matian menjaga nilai raporku agar bisa ikut saringan masuk melalui nilai rapor. Tidak hanya itu, aku juga berhasil menjuarai Olimpiade Biologi tingkat nasional dimana sertifikatnya mungkin bisa digunakan untuk membantuku masuk ke perguruan tinggi lewat jalur prestasi. Sejak awal kelas 12 pun aku sudah mengikuti bimbingan khusus untuk tes tulis masuk perguruan tinggi.

Persiapan yang sangat matang untuk mengejar universitas favorit di Jakarta. Tentu saja bukan hal yang mudah bagiku jika harus mengubah rencana untuk menuruti permintaan Ayah dan Ibu demi biaya hidup yang lebih ringan. Apalagi selama ini aku terlatih dengan membuat perencanaan yang rapi. Jadi mendapati tujuanku harus mendadak berubah, membuat hati kecilku berontak. Tapi rasa sayangku pada Ayah dan Ibu membuat aku menahan segalanya.

Kata orang, orang-orang dengan zodiak Virgo merupakan salah satu golongan orang-orang ambisius. Mungkin salah satunya aku. Jika sudah memiliki tekad, aku akan mengusahakan sekuat tenaga dan sesempurna mungkin. Dan itulah yang aku lakukan.

Meski di luar aku mengiyakan permintaan Ayah, pikiranku segera menyusun rencana lain agar tujuanku tetap tercapai. Aku masih punya waktu beberapa bulan, selama akhir semester ini, untuk mengusahakan banyak hal. Tanpa orang tuaku ketahui, aku mendadak sibuk mencari beasiswa agar tetap bisa masuk ke kampus pilihanku tanpa merepotkan mereka. Bukan hanya beasiswa, akupun sudah memikirkan pekerjaan sampingan untuk membiayai kebutuhan hidup lainnya seperti biaya sewa kamar dan uang makan selama tidak tinggal bersama mereka.

ORIFISIUM: Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang