1

124 17 0
                                    

"Siapa cinta pertamamu?"

"Bagaimana ciuman pertamamu?"

Selama 21 tahun aku hidup, kedua pertanyaan itu bukan sesuatu yang jarang kudapat.

Aku tidak berbohong kalau selama aku hidup, aku tak pernah berpacaran dengan siapa pun. Aku hanya dekat sekali-dua kali dengan laki-laki.

Tapi aku punya cinta pertama. Aku juga ingat betul bagaimana ciuman pertamaku.

Bagaimana jika kuawali dengan pertemuan pertama kami?

Sebelum aku resmi masuk TK, ada keluarga asli Jepang dari Amerika yang menempati rumah kosong di depan rumahku. Ya, mereka tetangga baru. Anak sulung di keluarga itu seorang gadis kecil yang seumuran denganku.

Kami sama-sama pemalu untuk saling kenal dan kami perlu waktu dua hari untuk bisa bermain jungkat-jungkit bersama.

Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Ten. Rambut panjang hitamnya dikuncir kuda. Kulitnya sedikit lebih gelap. Tawanya begitu menular dan dia anak yang ceria.

Saat kami sama-sama masuk TK, semua orang menyukai Ten. Berbeda denganku yang selalu diabaikan. Aku seringkali merajuk sampai ke rumah. Tapi bukan karena aku cemburu pada Ten, melainkan karena orang-orang merebut Ten dariku.

Walau demikian Ten tidak pernah meninggalkanku. Ten akan menarikku untuk bermain dengan yang lainnya. Jika yang lainnya tidak mau bermain denganku, Ten akan meninggalkan mereka demi bermain denganku. Bila ada anak laki-laki yang menggangguku, Ten tak segan berkelahi dengan mereka.

Aku tahu saat itu aku mengganggap Ten tidak hanya sekedar teman. Maka saat ulang tahunku yang ke-6 yang dirayakan bersama keluargaku dan keluarga Ten, aku mencium Ten setelah meniup lilin.

"Aku menyayangimu, Ten-chan. Kita terus berteman ya?" Pintaku dengan lugu saat itu.

"Tentu saja! Karin-chan selalu jadi temanku." Ten tampak senang dan balas menciumku.

Orang tua kami saat itu memandang gemas kami. Karena kami hanya anak-anak.

Aku juga berpikir kalau perasaanku saat itu hanyalah perasaan lugu anak-anak. Namun semakin kami tumbuh, perasaan itu juga tumbuh dan membingungkan.

Aku bisa mengendalikan diriku untuk tidak cemburu saat Ten dapat bermain dengan siapa saja. Tapi aku tak bisa mengendalikan diriku saat Ten dekat dengan seseorang yang akan dikencani.

Ten orang yang blak-blakkan. Dia akan bercerita apa dan siapa yang ia suka dan tidak suka. Dan Ten mulai berpacaran dengan anak laki-laki saat di bangku SMP.

Keluh kesahnya, rasa bahagianya, kebingungannya, rasa bosannya. Semua itu akan ia limpahkan padaku. Tapi egoku karena cemburu sering mengabaikannya. Namun Ten yang kerasa kepala, tidak peka, dan menganggapku selalu dalam mood yang jelek tetap berada di dekatku. Bercerita tentang orang lain hingga dia merasa puas.

"Tolong berhenti! Berhenti membicarakan anak itu! Berhenti menyukainya!"

Hatiku meronta, ingin meneriaki kalimat itu. Tapi aku hanya bungkam.

Ten datang padaku saat ia pertama kali mengalami patah hati. Ia dikhianati. Ia menangis tersedu-sedu. Kalau sudah seperti itu, aku tidak bisa menolaknya. Aku selalu membiarkan dia memelukku atau menangis di pangkuanku hingga dia puas. Aku selalu ingin mematahkan leher anak laki-laki yang membuat Ten menangis, tapi aku tak bisa melakukan apa-apa selain menenangkan gadis itu dalam diam.

Seakan tak pernah jera, Ten berpacaran dengan laki-laki lain. Saat mereka di bangku SMA, Ten pernah menggodaku yang terlalu rajin belajar.

"Kau tak mau coba berkencan dengan anak cowok di kelas kita?"

Last SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang