3

109 14 0
                                    

Ten adalah cinta pertamaku. Ciuman pertamaku ada pada Ten.

Dan aku tidak berpikir ingin mendapatkan hati Ten. Aku tahu batasan hubungan kami. Itu mustahil. Maka aku tidak pernah berjuang menarik perhatian Ten agar ia juga menyukaiku.

Lebih baik tetap seperti ini: menjadi sahabat Ten.

Hubungan yang dinamakan sahabat jauh lebih baik dari hubungan sepasang kekasih karena tidak ada akhir dari hubungan sahabat, berbeda dengan hubungan sepasang kekasih yang akan berakhir kapan saja.

Aku pikir begitu.

Musim panas tersisa 10 hari lagi, itu berarti musim panas berhargaku tahun ini akan berakhir. Ten akan kembali ke Amerika dan aku kembali pada musim yang membosankan.

Tanpa ingin menyiakan musim panas kali ini, aku menerima ajakkan Ten pergi ke festival lentera. Beberapa tahun terakhir ini aku terus absen. Tapi jika Ten yang mengajak aku akan ikut meski terkesan ogah-ogahan.

Ten selalu terlihat manis dengan yukata berwarna merah dan rambutnya yang disanggul diberi pita bunga. Ten tersenyum lebar hingga menampakkan barisan gigi putihnya saat menjemputku di depan rumah, menambahkan sisi manisnya berkali-kali lipat.

"Uwaaaah, seperti yang diharapkan. Karin-chan selalu manis kalau pakai yukata." Puji Ten yang terlihat senang.

Ten selalu seperti itu. Dia selalu memujiku. Aku tidak tahu apa Ten benar-benar memuji atau hanya ingin membuatku tetap percaya diri. Karena sejak dulu aku kurang percaya diri mengenakan apa pun. Ten tahu itu dan akhirnya ia selalu menjadi orang yang bersemangat memujiku.

Tapi terlepas benar atau tidak, aku tetap merasa malu dan salah tingkah bila dipuji Ten. Aku tidak membalas pujiannya dan hanya mengalihkan pembicaraan.

Tiba di tempat festival yang ramai dan padat, Ten menggaet tanganku sangat erat. Dia mungkin selalu ingat bagaimana kami pernah terpisah di keramaian saat usia kami baru 8 tahun dan nekat pergi ke festival berdua. Setelah cukup lama saling mencari, kami pun bertemu dan Ten menangis kencang.

Aku suka telapak tangan halus Ten yang menyatu dengan telapak tanganku. Rasanya meleleh dan menenangkan dalam waktu bersamaan.

Setelah memainkan beberapa permainan seperti menembak kaleng dan menangkap ikan mas, kami membeli seporsi takoyaki, dango, dan yakisoba untuk berbagi.

Kami duduk di bangku panjang tepat di bawah pohon besar.

"Aku bisa sendiri." Kataku saat Ten menyodorkan sebuah takoyaki yang telah ia tiup ke mulutku.

"Sudahlah. Cepat makan."

Rasanya agak malu saat Ten menyuapkanku makanan. Mungkin karena sudah 3 tahun tak bersama. Sebenarnya Ten sering menyuapkanku tanpa kusadari. Saat kami berbagi makanan atau camilan yang kami pesan berbeda. Terakhir kali ia melakukan itu, mungkin saat akan ujian akhir semester di tahun terakhir.

Aku sering melewati jam makan setiap kali fokus belajar hingga maagku kambuh. Karena bila kambuh aku tidak bisa bersekolah selama seminggu dan menangis sejadi-jadinya, Ten saat itu mengantisipasinya dengan membawakan makanan ke kamarku.

Ten mungkin disuruh ibuku untuk mengamatiku. Tapi Ten tidak hanya mengamatiku untuk makan tepat waktu, tapi ia menyuapkanku di saat aku tetap sibuk belajar. Ia juga suka mengomel.

"Nanti kalau penyakitmu kambuh lagi gimana? Bisa-bisa malah ikut ujian susulan seperti UTS kemarin. Ujian susulan kan poinnya bakal dikurangi. Jadi buang-buang waktu kalau belajar mati-matian sampai lupa makan seperti ini."

Beres menyantap takoyaki, kami makan yakisoba. Aku menyuapkan yakisoba itu pada Ten. Dia tampak girang sambil berkata, "Enak!"

Lalu Ten mendekatkan wajahnya padaku dan berkata dengan pelan. "Kita seperti sedang kencan ya?"

Last SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang