2

92 16 0
                                    

Kuliah Ten belum selesai. Tapi ia pulang pada musim panas karena ingin melepas rindu di kampung halamannya sebelum bertemu tahun terakhir perkuliahan yang memusingkan.

Keluarga Ten mengundangku makan malam bersama.

Kesamaanku dengan keluarga Ten adalah kami memiliki ibu, ayah, dan adik perempuan. Kami juga sama-sama anak sulung.

Perbedaan kami hanya pada perekonomian. Kedua orang tua kami sama-sama bekerja. Tapi setiap kali Ten butuh sesuatu, orang tuanya langsung segera memberi. Berbeda dengan orang tuaku, harus lebih dulu mempertimbangkan semuanya.

Rok seragam sekolah kami pernah sama-sama kependekan dari batas seharusnya karena tubuh kami tinggi dengan cepat.

Besoknya Ten sudah dibelikan rok oleh ibunya. Tapi ibuku bilang, "bagaimana bila bulan depan menggantinya? Kalau sekarang uang Ibu dan Ayah masih belum cukup". Dengan uang jajan yang kutabung sejak aku SD dan sedikit tambahan dari uang Ibu, aku mengganti rokku tanpa harus menunggu bulan depan.

"Sekarang Karin kan sudah sukses. Jadi Pegawai Negeri di kantor Administrasi Daerah pasti bikin tenang kan? Habisnya gajinya besar, terus dapat uang pensiun." Goda Ten saat kami berkumpul di meja makan.

"Gajiku tidak besar, Ten. Aku PNS tingkat bawah karena lulusan SMA." Sangkalku.

"Tapi kan hidupmu sudah terjamin. Kau juga bisa naik pangkat kalau kau juga berkuliah. Kalau uangmu terkumpul banyak, kau bisa kerja sambil kuliah. Waktu itu kau kan ingin kuliah tapi tak kesampaian."

Benar juga. Setelah lulus SMA aku ingin berkuliah. Aku belajar mati-matian agar mendapatkan beasiswa penuh. Tapi aku gagal, hanya dapat masuk jalur prestasi. Orang tuaku tidak sanggup membayar biaya kuliahku. Kalau pun aku sambil kerja paruh waktu, pasti tidak sepenuhnya terpenuhi. Aku akhirnya melepaskan mimpiku dan setelah lulus sekolah aku membantu pekerjaan di kantor Administrasi Daerah. Dari sana aku tahu lowongan Pegawai Negeri dibuka pada pertengahan tahun dan akhirnya aku resmi diterima setelah melalui berbagai seleksi pada akhir tahun.

Hasil kerja kerasku pun membantu perekonomian keluargaku. Tapi aku belum kepikiran untuk berkuliah dan naik jabatan. Kalau dipikir-pikir lagi, itu juga ide yang bagus.

"Kapan-kapan traktir aku ya?" Pinta Ten, sumringah di seberangku. "Aku kangen makan parfait tempat biasa kita nongkrong."

"Wah anak ini semakin keterlaluan setelah tinggal di Amerika." Tegur ibu Ten, menggetok kepalanya dengan sendok.

Ten meringis. "Aduhhh, Ibuuuu! Aku kan bercanda."

Tentu saja.

Tentu saja aku akan mentraktir Ten. Apa pun yang ia mau selama itu tidak melewati batas kemampuanku.

Dulu Ten yang selalu mentraktirku. Dia bahkan pernah membelikan sepatu kesukaanku dengan harga yang cukup mahal sebagai hadiah ulang tahunku.

Aku jelas akan membalas kebaikan Ten.

Setelah makan malam, kami berkumpul di ruang tengah. Karena sudah biasa bermain ke rumah Ten, aku tak canggung berada di antara keluargannya sambil menonton video yang diputar di TV.

Ayah Ten memutar video masa kanak-kanak kami. Lalu memutar video ulang tahunku yang ke-6 yang ada di sana karena saat itu ayah Ten merekamnya dengan kameranya.

Aku gugup video itu diputar. Pasalnya ciumanku dan Ten selalu membuat mereka heboh meski mereka hanya sekadar berkata, "Waah, manisnya mereka. Menggemaskan."

Aku sendiri merasa malu sampai menutup wajahku yang semerah tomat. Dan Ten sendiri akan tergelak kencang, sambil berkata, "Kok kita bisa ciuman sih?"

Ten menungguku di lobi kantor usai jam kerjaku berakhir. Dia menagih janjinya di meja makan tadi malam dibarengi dengan candaan. Aku menurut dengan senang hati dan kami pun nongkrong di cafe langganan kami demi menyantap parfait kesukaan kami semasa sekolah dulu.

Last SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang