4

72 12 2
                                    

Setelah sekian lama tak sekelas sejak kelas 2 SMP, aku dan Ten akhirnya sekelas lagi saat berada di tahun terakhir SMA.

Seperti biasa Ten dapat membaur dengan semuanya dalam waktu cepat, berbeda denganku yang hanya bisa makan siang bersama murid-murid penyendiri yang nyaris tak dianggap.

Tapi gara-gara aku berteman dengan Ten, murid-murid di kelas mengetahuiku, "Saudaranya Ten", kata mereka karena kami selalu bersama. Tanpa sadar aku juga bergaul bersama mereka sembari menyembunyikan rasa minderku.

"Kubilang pada teman-teman sekelas kita kalau 5 hari lagi aku balik ke Amerika dan tidak akan kembali dalam waktu cepat." Kata Ten.

Kami baru saja selesai mandi dan aku membantunya mengeringkan rambut panjangnya.

"Terus mereka bilang apa?"

Sambil tersenyum sumringah Ten menunjukkan layar ponselnya. Grup LINE berisi kontak murid-murid kelas 3-C setuju untuk pergi reunian atas ide Ten.

"Mereka akhirnya mau reunian setelah susah payah kuajak! Hore!" Seru Ten senang.

Aku hanya membulatkan mulut dan kembali mengeringkan rambut Ten dengan hairdryer.

Meski aku mengenal teman-teman sekelasku dan bergaul dengan mereka, aku merasa kami tidak nyambung dan terkadang ada perasaan tak nyaman. Jika tidak ada Ten, aku tidak akan ikut nongkrong dengan mereka. Baru-baru kami lulus, mereka pernah mengajak reunian. Tapi karena tidak ada Ten, aku berpura-pura sibuk untuk tidak hadir. Kemudian mereka tidak pernah adakan reunian dan sekarang karena Ten mereka akhirnya mengadakan lagi.

Ten tidak meminta persetujuanku apakah aku mau ikut atau tidak, tapi esoknya setelah jam kerjaku berakhir, dia menungguku di lobi untuk pergi ke tempat reunian di sebuah izakaya. Padahal aku tak berniat hadir.

Setengah murid dari kelas kami telah mengelilingi meja yang telah direservasi Ten. Mereka yang hadir kebanyakan adalah orang-orang yang aktif dan sering bermain dengan Ten. Mereka bercengkerama soal kehidupan mereka dan bercanda hingga terbahak sambil menyantap hidangan juga bir yang telah disiapkan.

"Gimana rasanya tinggal di Amerika, Ten?" Tanya salah satu mereka pada Ten.

"Ah, gimana ya ... " Ten pura-pura memikirkan hal-hal yang sulit. "Aku perlu beradaptasi cukup lama. Perkuliahan juga memusingkan. Tapi sekarang terasa menyenangkan kok! Aku suka pergi ke pesta."

"Kau itu tinggal di Amerika sebenarnya pergi kuliah atau hanya ingin pergi ke pesta sih?"

"Haha. Tentu saja berkuliah. Tapi masa hanya berkuliah saja? Perlu healing dong kayak ke pesta."

"Kudengar orang-orang Amerika sering berpesta dengan ganja. Jangan bilang kau memakainya?"

"Hah? Tidak kok! Meski beberapa kali kulihat ada temanku yang pakai, aku tidak berani ikut-ikutan memakainya. Kalau sampai ketangkap polisi kan bahaya, aku bisa dideportasi."

"Tapi sampai sekarang aku masih tak menyangka kau berkuliah. Ke Amerika lagi. Aku bahkan masih tak percaya kau pernah tinggal di sana waktu kecil."

"Berarti selama ini kalian meragukan ceritaku? Wah jahat sekali!" Ten tertawa, lalu menegak birnya .

"Waktu sekolah dulu kau juga malas belajar, beberapa kali membolos dan tidur saat Sensei menjelaskan materi. Aku malah tak menyangka dengan Saudaramu, Fujiyoshi-san."

Mereka mulai membandingkanku dengan Ten.

"Fujiyoshi selalu berusaha mempertahankan nilainya hingga terus masuk 10 besar seangkatan agar bisa berkuliah. Tapi setelah lulus Fujiyoshi tidak berkuliah. Untung saja dia lolos PNS."

Last SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang