Kinara melirik ke arah jam yang berada di bagian kanan bawah layar. Masih ada beberapa belas menit sebelum rapat dengan Deva dilakukan. Satu bulan sudah Kinara berada di Arubaito. Tiga minggu ini Kinara melaksanakan apa yang ia bicarakan pada rapat di hari terakhir Vasha. Dan hari ini, Kinara harus menjelaskan Deva perihal hasil dari apa yang sudah ia kerjakan untuk mencapai keputusan strategi berikutnya, juga mungkin, posisinya di perusahaan ini.
Kinara tak berharap terlalu banyak. Hasilnya memang cukup seusai dengan prediksinya, jadi sepertinya, tak ada aral melintang.
Presentasinya sudah siap, tetapi, Deva belum tampak berada di tempat. Sepengetahuannya, Deva pergi rapat dengan pihak eksternal. Kinara tak tahu, dan rasanya tak perlu tahu. Itu urusan Deva.
Kinara punya urusan lain. Mengurusi dan beradaptasi dengan pekerjaan serta bidang yang baru ia geluti. Mungkin, tidak sepenuhnya baru. Hanya saja, ia tak terlalu mengerti taktikal dalam mengerjakan beberapa bagian yang dikerjakan anak buahnya.
Walaupun pekerjaan Kinara lebih bersifat strategikal dan tidak usah mengurusi tetek bengek seputar bagaimana memasang bidding untuk iklan di platform media sosial, Kinara tak ingin terlihat bodoh. Lagi pula, bagaimana ia bisa berpresentasi jika tidak menguasai apa yang ia jelaskan?
Suara notifikasi percakapan dari Teams membuat Kinara tersenyum tipis. Deva menyatakan dirinya sudah berada di ruang rapat. Sepertinya, lelaki itu langsung masuk ruang rapat tanpa kembali ke meja.
Benar kata Vasha, dalam pekerjaan, Deva tak pernah main-main.
Kinara mengemasi laptopnya sementara tiga anak buahnya memandang dengan wajah waswas karena sudah tahu apa yang akan terjadi.
"Semangat, Kak Nara!" Diana yang sadar paling pertama berucap dengan cengengesan. "Duh, Kak Nara yang maju, gue ikutan mules, soalnya yang di A/B testing bagian gue."
"Kalau gitu lo aja yang maju, Di! Gue dukung ... dari sini," celetuk Jessica dari balik layar iMac besarnya. Desainer nyentrik dengan rambut ombre pirang-cokelat itu masih tak melepas pandangan dari desain yang ia kerjakan meski bisa mengejek.
"Ya, jangan dong!" Diana memajukan bibir.
"Ya, lo aja, lo, kan, biasa kena damprat Mas Deva," Maria yang paling tua tiba-tiba ikut menimpali.
"Bajingan," balas Diana.
"Iya, kalau Kak Nara yang kena entar dia tiba-tiba dieksekusi sama Mas Deva, gue yang mati," kekeh Maria.
Gadis yang akan berusia seperempat abad dalam dua bulan lagi itu pernah bercerita bahwa ketika Vasha mengajukan cuti, ia hampir ditunjuk menggantikan Vasha sementara. Tetapi, sejujurnya, Maria tak sanggup. Pertama, mentalnya masih terlalu kecil untuk dibentak Deva. Kedua, ia merasa belum bisa bertanggung jawab dengan persiapan presentasi investment pitching yang—sialnya—berlangsung tepat ketika Vasha mengajukan cuti.
Kinara hanya tersenyum simpul seraya mengangkat tubuhnya dari kursi. "Nggak apa-apa, kok. Gue bakalan baik-baik aja. Kerjaan Diana bagus, soalnya." Ia menenangkan timnya. "Gue duluan, ya?"
Dengan senyum percaya diri, Kinara berjalan meninggalkan mejanya. Kaki ramping itu bergerak menuju ruang rapat. Mata Kinara kini bertemu dengan Deva yang masih sibuk dengan laptopnya.
"Masih sibuk, Mas Deva?" sapa Kinara ketika masuk.
Deva sontak mendongakan wajah, membuat pandangan mereka bertemu. Ia melirik ke arah Kinara yang sudah melenggang untuk mengambil kursi di depannya.
"Lo kayaknya pede banget," cetus Deva alih-alih menyapa balik.
Bukannya apa, aura kepercayaan diri yang nampak dari Kinara membuat Deva merasa silau. Gadis itu benar-benar datang tanpa kegentaran seperti orang-orang lainnya. Bahkan, Vasha saja masih sedikit gugup ketika harus menyampaikan hasil laporan bulanan. Diam-diam, ada harapan dan ekspektasi yang cukup besar dari Deva saat melihat Kinara mencolokkan laptopnya pada proyektor.
"Ya, gimana pun harus dihadapi, kan?" Kinara berucap santai. Di layar, tampak ia mulai membuka-buka slide presentasinya. "Lagi pula, Diana did great job, kok."
"Really?" Deva menaikkan satu alis tak percaya. Yang ia tahu, Diana adalah pegawai yang paling suka teledor dan salah. Pernah sekali gadis itu menuliskan lebih banyak nol pada budget di iklan Instagram. Untung langsung diketahui hari berikutnya. Kalau tidak, habislah semuanya.
Kinara tak membalas, sebagai gantinya, ia mengeluarkan hasil laporannya. Baru satu slide, Deva langsung mengangguk sedikit tercengang.
"Sesuai prediksi, hasil A lebih stabil dan B lebih fluktuatif. Cuma tiga hari, terus trennya drop. Tapi, B memang lebih banyak ngedatangin pengguna daripada hasil A. Kita masih optimisasi learning-nya, sih. Jadi mungkin hasil dari satu minggu ini nggak seoptimal itu," Kinara menjelaskan dengan Deva yang memangku dagu.
"Lalu?"
"Tapi, aku anaknya iseng sedikit, nih." Kinara membuka slide lanjutan. "Aku ada bikin satu set ads lagi yang cuma aku pasang tiap tiga hari. Aku sebut Set C."
Deva kini membelalakan mata. Ia ingin protes.
"I know Mas Deva pasti mau komplain." Kinara tersenyum kecil. "Tetapi, dari sini, justru malah aku nemuin anomali. Budget lebih optimal dengan set C ini. Cuma, kurangnya memang harus naik turun manual dan puter otak buat desain dan kontennya."
Deva menarik napas. Ia tak bisa mendebat ketika melihat hasil di depan mata. Angka tak bisa berbohong. Angka yang menjadi hasil tersebut adalah valid, mutlak dan tak bisa didebat.
"Kita masih cek lagi berapa lama strategi ini bisa bertahan. Soalnya dari Set C1 sampai C3 yang kita lakuin sepertinya perlahan turun." Kinara menekan tombol halaman selanjutnya. "Batasnya, jika penyerapan budget sudah kurang dari lima puluh persen tetapi juga terjadi penurunan pengguna yang mendaftar atau kunjungan, kita matiin."
Deva mengangguk puas. Kepercayaan diri yang tadi Kinara bawa benar-benar tak hanya sebuah gaya kosong. Gadis itu benar-benar kompeten mengerjakan pekerjaannya bahkan lebih baik dari Vasha di sisi strategis.
Vasha sebenarnya hanya cuti selama tiga bulan sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan. Tetapi, adik dari sahabat Deva itu meminta tambahan tiga bulan karena merasa tak akan sanggup mengatasi pembuatan strategi untuk pitching.
Jadi nantinya selama tiga bulan berikutnya, Kinara akan berperan dalam tim strategis yang selama ini dipegang Vasha agar wanita satu itu bisa fokus juga memimpin yang lainnya juga mempersiapkan ini dan itu. Lagi pula, Vasha pasti akan kelimpungan mengurus bayi dan presentasi pitching.
Kini, Deva mengerti alasan Vasha menarik masuk perempuan yang masih berada dalam akhir dua puluhnya ini. Ia mungkin tak mengerti teknis ini dan itu, tetapi, isi kepala dan logikanya bekerja dengan sangat baik.
"Gimana, Mas?" Pertanyaan Kinara membuyarkan lamunan Deva.
"Hm?"
"Aku rencana merombak semua konten iklan jadi dua set ini, kira-kira gimana, Mas?" tanya Kinara ulang.
Deva diam. Ia memiringkan kepala. Terlihat berpikir. "Oke."
Oke.
Kata itu membuat Kinara membelalak. "Oke, maksudnya boleh, Mas?" Nada girang terdengar dari suaranya.
"Gue nggak mau ngulang," Deva berkata ketus. Sejujurnya, ia cukup puas dengan hasil kerja Kinara tetapi masih terlalu gengsi untuk memuji. Lelaki itu berdiri. "Kalau nggak ada lagi yang mau lo omongin, gue cabut dulu. Masih ada meeting lagi."
Kinara tersenyum kecil ketika Deva berdiri dan pergi sambil menenteng laptopnya. Ia menggeleng pelan.
Deva tidak seburuk yang orang bilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Point
RomanceDihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan CW: slight mature, age gap, trauma * PAIN POINT (n.) Problems that users encounter during their journey experience Di usianya yang ke-28, Kinara memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan meninggalkan peke...