"Saya dengar, Vasha baru lahiran kemarin, ya? Lalu kalau tim kamu cuti, siapa yang akan pegang pemasarannya?" Satu kalimat tanya dari seorang lelaki berusia akhir empat puluhan membuat Deva mengulum bibir.
Hari itu, Deva berada di sebuah kantor dari investor yang menyuntikkan dana untuk Arubaito. Bukan sebuah pertemuan resmi. Ia hanya bertemu dengan salah satu pimpinan di sana untuk berbincang santai. Atau, itu katanya.
Deva menarik napas sambil mengambil cangkir kopinya. "Posisi strategis masih akan dipegang Vasha, tetapi kalau tentang day-to-day basis-nya, ada satu anak yang baru masuk ke tim saya. Rekomendasi Vasha, Pak Ardi," katanya lugas.
"Experience? Senior level? Pengalaman di mana?"
Deva berdeham mendengar cecaran itu. Walaupun bukan investor langsung, sebagai manajemen, Ardi jelas punya hak untuk khawatir terhadap keberlangsungan perusahaan.
"Mid level, sih. Tapi, pengalaman di ShopStyle Singapore," Deva menjawab tanpa ragu.
Ardi tampak manggut-manggut. "Kontrak? Tetap?"
"Kontrak, enam bulan," jawab Deva lagi.
Ardi diam sejenak. "Sebenarnya, saya mau nawarin kamu jasa dari perusahaan putra rekanan saya."
Deva membeku sejenak. Ia kemudian mendesis dalam diam. Pantas saja Ardi mengajaknya mengobrol santai di kedai kopi lobi dan bukan ruang rapat. Rupanya, obrolan ini tak lebih dari ajang nepotisme.
"Dia itu lagi bikin agensi pemasaran, kamu mungkin bisa pakai jasa dia buat mengembangkan Arubaito. Soalnya, tim pemasaran kamu, kan, cuma tiga atau empat orang, toh?" tawar Ardi lagi.
Deva kini mulai ogah-ogahan. Kerja sama hasil nepotisme tak pernah akan berakhir dengan baik pada akhirnya.
"Kamu mau ketemu dulu aja, nggak? Seenggaknya, kan, bisa ngobrol sama sharing insight terlepas jadi sama dia atau nggak. Gimana?" Ardi masih kukuh menawarkan pada Deva.
Deva menghela napas. Ia tak bisa kabur. Ia juga tak bisa mengelak.
Dan begitulah akhirnya. Sabtu pagi ini, Deva terdampar di Central Park, pusat perbelanjaan di Jakarta Barat yang tumpah ruah pengunjungnya ketika akhir pekan. Walaupun jarak antara apartemennya yang berada di daerah Karet tak terlalu jauh dengan lokasi, sejujurnya, Deva lebih memilih untuk bekerja di rumah saja.
Urusannya masih banyak. Bertemu dan berramah-tamah dengan siapa pun yang sudah pasti tak akan diajak bekerja sama menurutnya cuma akan membuang-buang waktu.
Sialnya lagi, si founder dari perusahaan ini benar-benar menggampangkan semua hal. Janjian jam sepuluh di Starbucks, lelaki itu baru datang pukul sebelas dengan muka cengengesan. Ingin rasanya Deva melempar laptop yang ia bawa ke wajah lawan bicaranya yang tak lebih dari anak mami tengah memulai usaha.
Obrolan ngalor-ngidul yang lebih mirip pepesan kosong itu semakin lama semakin garing tepat ketika makan siang. Tanpa berbasa-basi untuk makan siang bersama, Deva menyudahi pertemuannya. Ia menyatakan bahwa masih ada orang yang harus ia temui dan meninggalkan lelaki itu begitu saja.
Rencana awal Deva adalah ingin pulang ke rumahnya. Tetapi, mendengar perut mulai bermain orkestra, ia memutuskan untuk mencari restoran untuk makan siang.
Lagi, mencari restoran yang tak ramai di Central Park pada jam makan siang seperti mencari jarum di jerami. Susahnya setengah mati. Menyeberang melalui tunnel ke Neo Soho, akhirnya, Deva memutuskan untuk masuk ke sebuah restoran yang terletak di ujung lantai basement tepat di sebelah toko souvenir.
Karena letaknya di ujung dan terpencil, Deva—yang frekuensi berkunjungnya ke Central Park dan Neo Soho terbilang tak banyak—baru tahu ada restoran ini. Melihat dari ornamennya, juga anak-anak kecil yang baru keluar dari pintu di ujung kiri, sepertinya restoran ini terhubung dengan Jakarta Aquarium yang berada satu lantai di atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Point
RomanceDihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan CW: slight mature, age gap, trauma * PAIN POINT (n.) Problems that users encounter during their journey experience Di usianya yang ke-28, Kinara memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan meninggalkan peke...