Mari kita buat seolah tidak terjadi apa-apa.
Kurang lebih, itu yang diucapkan Deva dan Kinara di hari Sabtu kemarin. Faktanya, seisi kepala Kinara tak bisa lepas dari itu. Bayangan cumbuan beberapa menit yang mereka lakukan terbayang bahkan hingga Kinara tak bisa tidur sama sekali.
Senin pagi ini, Kinara menarik napas ketika masuk ke dalam kantor. Pagi ini, ia datang terlambat. Jangan ditanya alasannya karena wajah gadis itu bisa langsung memerah saat itu juga.
Pandangannya teredar ke sekeliling. Ia mencari-cari seseorang yang selalu duduk eksklusif di satu kubikel terpisah di bagian pojok. Namun, hasilnya nihil.
"Gila lo, untung telat pas si Depa Depi nggak masuk," celetuk Nathan tepat ketika Kinara duduk di kursinya.
Kinara mengangkat alis. "Lah? Mas Deva ke mana?"
Nathan menggeleng. "Nggak tahu, kayaknya meeting di luar pagi ini. Lo nggak baca e-mail? Katanya, nggak ada daily meeting selama lima hari ke depan dan dia juga nggak bakal ngantor atau akan jarang ke kantor sampai Jumat. Kayaknya dia juga ada urusan, deh. Minta ijin work remote juga."
Hati Kinara mencelos. Ia buru-buru membuka laptop. Salahnya tidak memasukan surel kantor ke dalam ponsel agar tak dapat diganggu. Kini, ia tidak tahu apa yang terjadi.
"Biasanya dia chat di grup. Kok tumben?" Kinara membuka grup obrolan namun tak ada pemberitahuan di sana.
"Nggak tahu, mungkin, buru-buru." Nathan mengangkat bahu. "Ya udahlah, bagus kalau gitu, nggak sih? Agak lebih lega karena si Depa Depi nggak ngawasin kayak pengawas UN."
Kinara menarik napas. Kalau kejadian ini terjadi beberapa minggu lalu. Ah, tidak usah beberapa minggu. Kalau kejadian ini terjadi minggu lalu, Kinara akan ikut bersorak kegirangan. Tetapi hari ini, ada rasa kehilangan yang menyeruak di dadanya.
Kehilangan tanpa alasan.
Lagi, ciuman itu terbayang ketika sosok Deva hinggap dalam pikiran Kinara. Gadis itu menggeleng sejenak. Ia harus fokus.
Membuka surel, ia mendapati beberapa pesan dari Deva. Lelaki itu meminta beberapa data yang dibutuhkan. Sepertinya, Deva benar-benar sedang sibuk sekarang.
Kinara mau tak mau mengalihkan fokusnya. Ia tak bisa terus menerus memikirkan Deva. Banyak hal yang harus ia kerjakan. Lagipula, ia tak ingin tiba-tiba jadi kena omel Deva. Catatan rekornya masih bersih.
Lagi, Kinara melirik ke arah bangku kosong milik Deva. Ia menarik napas panjang lalu menggeleng pelan. Yang kemarin bukan apa-apa.
*
"Kak, duluan!"
Kalimat pamit dari Diana membuat ruangan kantor benar-benar sepi sekarang. Kinara menganguk seraya melambaikan tangan, mengantarkan Diana yang keluar dari ruangan malam ini.
Hari sudah gelap namun hujan bak badai turun sepanjang hari hingga malam ini. Dan di tengah cuaca seperti ini, agak sulit untuk Kinara memesan taksi online bahkan ketika gadis itu rela membayar harga dua kali lipat sekalipun. Sudah berkali-kali pesanannya dibatalkan. Mau tak mau, Kinara menunggu sampai cuaca lebih baik.
Gadis itu merenggangkan otot-ototnya yang pegal. Mengambil laptop, ia kemudian memutuskan untuk mencari hiburan dengan membuka salah satu layanan streaming.
Pandangannya tiba-tiba terpaku pada film pertama yang tampil di halaman depan. Dengan tulisan "Lanjutkan Menonton", Kinara butuh beberapa waktu untuk kembali menetralkan napas.
Setelah Deva pulang kemarin, Kinara memang belum sempat melanjutkan film yang ia tonton itu. Ada rasa penasaran tentang kelanjutan kisah yang membalut topik persaingan kerja dan kedudukan perempuan dalam pekerjaan. Walaupun, banyak adegan panas terselip di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Point
RomanceDihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan CW: slight mature, age gap, trauma * PAIN POINT (n.) Problems that users encounter during their journey experience Di usianya yang ke-28, Kinara memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan meninggalkan peke...