Tetesan hujan yang jatuh memeluk tanah itu nampak kian menggebu laju frekuensinya. Tak ada pilihan, cowok berseragam khas anak sekolah menengah atas (SMA) itu menepi di sebuah halte depan taman yang letaknya tak begitu jauh dari sekolahnya. Kalau saja petir turut hadir menemani deru yang menyendu itu, Narua akan berpikir kembali untuk berdiri di bawah halte yang beratap pas-pasan. Tapi, rupaya Tuhan masih memudahkannya untuk tak perlu berlari kebingungan mencari tempat peraduan.
Sesungguhnya, sebuah payung yang dapat dilipat kecil itu ada di dalam tasnya. Setiap musim hujan, Narua selalu menyimpannya dalam tas. Sayangnya, hujan yang cara menyapanya sedang tak ramah itu sepertinya akan membuat tubuhnya tetap basah meski memakainya. Jadi, yang bisa cowok itu lakukan hanya duduk untuk menunggu hujan mereda agar dapat kembali melanjutkan langkahnya. Sebab, di jam sore seperti sekarang, bus yang biasanya ada tak bisa diharapkan lagi kemunculannya.
Narua amat sangat jarang menggunakan jam tangan. Maka dari itu, ponsel yang dayanya sudah tak seberapa itu ia hidupkan guna melihat pukul berapa sekarang. Mengenyampingkan detak waktu yang sudah mendekati magrib itu, manik jernih cowok itu menelisik pada notifikasi dua panggilan tak terjawab beberapa menit yang lalu. Dan berkat itu, jemarinya kini bergerak, mengirimkan kalimat singkat yang dapat menjawab pesan yang masuk lebih dulu sebelum adanya panggilan dari kontak yang sama.
Di hari-hari biasanya, tak pernah ada jadwal jemputan untuknya. Lagipula, Narua juga tak mengharapkan hal itu, meski sosok yang ia panggil papa di lima tahun belakangan ini sudah menawarkan supir keluarga agar ada jaminan yang bisa mengantarkan dan menjemputnya. Narua hanya berpikir bahwa tawaran itu kurang pantas untuk ia terima sehingga dengan penjelasan yang sekiranya tak akan menyinggung tawaran itu ia tolak dengan bijaksana.
Helaan nafas itu perlahan ia hembuskan. Tak bisa dipungkiri ada sedikit rasa cemas yang bergelenyar kala merasakan deru hujan yang kian menderas sehingga jalan raya di depannya sekarang bahkan tak dihadiri kendaraan roda dua yang berlalu-lalang. Kendaraan roda empat pun hanya lewat silih berganti dengan jeda.
Kondisi sekarang, membuat Narua berharap bahwa pesannya akan terbalas. Kalaupun tidak, mau tidak mau, suka tidak suka jalan terakhir itu akan ia jadikan pilihan. Ia memang suka keheningan, tapi bukan yang seperti sekarang. Ia suka keheningan, tapi keheningan yang benar-benar membuatnya nyaman. Atau jika tidak, keramaian pun tak masalah jika tertata dan bisa dipastikan keamanannya. Sebab jika tidak, kejadian empat tahun yang lalu benar-benar membuat batinnya tak tenang akan membayanginya.
Pesannya memang belum terbalas, tapi penampakan sebuah mobil putih yang berhenti tepat di hadapannya kini membuat Narua lega. Terlebih ketika dari pintu mobil yang terbuka itu memperlihatkan sebuah payung yang perlahan terbuka sempurna disusul kepala yang menyembul keluar; ada sosok yang meski masih dengan canggung ia panggil papa kini tengah keluar menghampirinya.
"Papa tadi nunggu di gerbang."
Narua mengangguk singkat. Hanya batinnya yang mampu mengucap terima kasih, sebab jika dilisankan papa tidak akan suka. Lebih kepada, papa pasti akan menganggapnya masih canggung dan tidak enakan, meskipun aslinya memang iya. "Sampai di rumah jam berapa, Pa?"
"Jam tiga belasan."
"Mama kamu nggak ngasih tau? Papa udah ngabarin dari semalam."
Hanya gelengan singkat yang Narua berikan karena memang itulah respons yang paling bisa dipercaya papa selain jawaban 'belum.' Dan untuk basa-basinya barusan, Narua sedikit menyesal mengatakannya.
"Papa mampir bentar, adekmu minta martabak telur. Jaketmu dilepas, basah. Kalau dingin pake jaket di belakang."
Narua mengangguk untuk yang kedua kalinya. Jaket yang masih melekat pada tubuhnya itu ia lepas karena memang bisa dikatakan basah. Namun, meskipun dingin itu sepenuhnya terasa, ia masih urung untuk mengambil jaket papa di belakang. Baginya papa adalah sosok baik yang bertanggung jawab, tapi entah kenapa ia tak bisa lepas begitu saja. Ada rasa yang mengganjal dan untuk alasannya Narua sendiri sudah sedikit paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narua Lakaruna
General FictionSeumur hidupnya, Narua belum pernah bertemu dengan ayah. Di masa kanak-kanaknya ia masih berharap bahwa akan tiba masanya ayah menemuinya; berprasangka bahwa ayah sejatinya sosok yang baik dan menyayanginya. Sebab, memang saat itu ia tak tahu apa-ap...