Narua tak pernah tahu seberapa terpandang keluarga ayahnya hingga karena perbedaan strata sosial itu kedua orang tua ayahnya tak merestui hubungan ayah dengan mama. Baginya, meskipun sederhana keluarga mama juga tergolong berkecukupan. Itu yang ia tahu sebelum Tante Amira sedikit bercerita bahwa ekonomi mereka dulu jauh tak sebanding dengan masa setelah ia lahir. Ada banyak kesulitan, terutama masalah ekonomi.
Eyang kakung bukanlah pengusaha besar atau pejabat dengan gaji yang menjanjikan. Untuk menyekolahkan hingga bangku kuliah bukanlah hal yang mudah jika dilihat dari nominal. Bersyukur sebab baik mama maupun Tante Amira memperoleh beasiswa yang membantu memperoleh gelar sarjana. Kala itu, Tante Amira memutuskan untuk menikah tak berselang lama setelah kelulusannya. Hal yang beruntung sebab calonnya merupakan sosok yang cukup berada dengan attitude yang disegani sebagian besar keluarga. Dari sanalah derajat keluarga perlahan terangkat.
Namun, dengan mama sepertinya berbeda. Menurut Tante Amira ayahnya adalah sosok yang baik dan tulus. Tetapi, hal itu tidak berlaku untuk keluarga ayah yang mempunyai nama besar karena kedudukannya. Tak salah jika keluarga ayah menuntut sang putra untuk mencari pendamping yang sepadan. Tetapi, masalah hati siapa yang bisa memaksakan? Itu sedikit hal yang ia tahu setelah mengobrol via telfon beberapa hari lalu dengan Tante Amira yang juga cukup terkejut dengan pengakuannya perihal ayah yang menemuinya.
Jadi, tentang kebencian eyang putri yang begitu berakar pada ayah dan keluarganya memang beralasan. Dan, mungkin itu juga penyebab eyang putri memang terasa berbeda saat bersama mama dibandingkan Tante Amira. Mungkin, karena ia juga tak banyak tahu.
"Lo, disuruh turun. Gantinya Pak Hilman di bawah."
Daripada menegur Ghasta yang tanpa salam tanpa ketuk membuka pintu kamarnya begitu saja, Narua lebih menyayangkan dirinya yang tak mengunci pintunya. Bukannya bagaimana, ini sudah yang ketiga kalinya Ghasta melakukan hal yang sama, tindakan tak sopan yang tak ia sukai karena mengusik kamar sebagai zona privasinya.
"Nanti gue ke bawah. Sebentar."
"Apa susahnya mainin hp sambil jalan? Tapi serah lo juga, sih."
Entahlah hanya perasaannya saja atau karena memang begitu adanya, tapi Ghasta memang lebih banyak bicara sejak hari pertama ia berangkat ke bimbingan belajar tiga hari lalu. Poin positifnya adalah hal itu sedikit memangkas keheningan dan kekakuan yang biasanya ada. Namun, komentar-komentar adiknya itu kadang memang tidak diperlukan.
Maka daripada memperoleh komentar lebih lanjut, Narua memilih meletakkan ponselnya di meja, mengabaikan pesan dari grup kelompok penugasan musikalisasi puisi yang sedang berdiskusi kecil.
"Namanya Pak Jo. Beliau yang papa pilih buat gantiin Pak Hilman. Kalau mau pergi atau minta dijemput, hubungi Pak Jo."
Anggukan itu Narua berikan guna menanggapi ucapan papa barusan. Sosoknya kini mendekat, melemparkan senyum tipisnya menyalami Pak Jo yang tersenyum ramah padanya. Hanya perkenalan singkat sebab setelah itu Pak Jo undur diri.
"Makasih, Pa."
"Sama-sama. Papa mau nganterin Ghasta ke rumah Omanya. Kamu mau ikut?"
Soal Oma Ghasta, Narua sudah pernah bertemu beberapa kali wanita sepuh yang cukup ia kenal dengan baik. Tempat tinggal keluarga dari almarhum mama Ghasta juga tak melebihi 2 jam jarak tempuhnya. Biasanya Oma dari adiknya itu akan berkunjung dengan anaknya yang lain atau jika tidak, Ghasta dan papa yang memang akan mengunjungi, tapi biasanya juga karena alasan tertentu.
"Omanya masuk rumah sakit. Makanya Ghasta juga papa izinin nggak masuk sekolah dulu besok. Kalau kamu ikut, nanti langsung pulang bareng papa."
Keterdiamannya dengan raut bertanya-tanya sudah dijawab lebih dulu. Maka tanpa menunggu lama Narua mengangguk. Wanita paruh baya itu bahkan bersikap cukup baik padanya sehingga mendengar kabarnya yang tengah jatuh sakit membuat cowok itu tak bisa jika hanya diam seolah-olah enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Narua Lakaruna
General FictionSeumur hidupnya, Narua belum pernah bertemu dengan ayah. Di masa kanak-kanaknya ia masih berharap bahwa akan tiba masanya ayah menemuinya; berprasangka bahwa ayah sejatinya sosok yang baik dan menyayanginya. Sebab, memang saat itu ia tak tahu apa-ap...