Lembar Dua

108 14 3
                                    

Dari kaca jendela kamarnya yang lebar dan tingginya jauh berbeda, Narua bisa melihat bahwa bulan purnama nampak bersinggasana di angkasa yang masih gelap warnanya. Kalau dilihat dari jam dinding yang menempati dinding kamarnya, maka tertanda jam 03.17 dini hari detak waktu mengiringi deru nafasnya. Memang bangun ataupun terbangun di jam-jam seperti saat ini seolah sudah menjadi rutinitasnya. Kalau bangun, berarti itu karena ia sengaja menyalakan dering nada untuk membangunkannya; sudah direncana tepatnya. Tapi, nyatanya dibandingkan bangun, ia lebih sering terbangun.

Ujung-ujungnya, untuk kembali dapat merasuk ke alam mimpi pun sulit terlaksana. Terlebih jika di waktu seperti sekarang. Jika kembali berbaring pun dirasa sudah tanggung. Narua rasa, yang ada ia hanya akan dipermainkan oleh rasa kantuk sebab butuh waktu panjang untuk membawanya kembali ke fase tidur lelapnya. Maka sebelum pikiran-pikiran yang mengganggunya semakin kental mengambil alih waktunya, Narua berjalan menggapai sakelar untuk menyalakan lampu kamarnya. Sementara lampu tidur yang sempat menyamankan tidurnya itu ia padamkan untuk sementara. Bukan secara asal Narua mengambil buku bacaan. Ada sedikit pertimbangan akan waktu dan isi buku yang kemugkinan akan memengaruhi pikirannya.

Dan, saat waktu mendekati pukul setengah lima, Narua bisa mendengar dengan cukup jelas deru suara mesin mobil sosok yang ia panggil papa yang memecah khasnya sunyi di waktu pagi. Pada akhirnya, pikiran yang sempat mengganggunya itu kembali merebut fokusnya dari buku yang ia baca.

Tadi malam ia tidur di saat waktu sudah akan merangkak menuju tengah malam. Sampai alam bawah sadarnya bekerja, Narua yakin jika ia tak mendengar suara mobil papa sehingga keyakinan bahwa papa memang baru kembali pagi ini terasa benar adanya.

Andai saja Ghasta mengatainya munafik, maka Narua lebih bisa menerimanya. Karena pada dasarnya ia tak peduli jika ada yang berkonflik, ribut, bertengar atau bagaimana silakan saja; asal tak melibatkannya. Tapi, itu hanya niat dalam batinnya saja. Pada akhirnya Narua juga tak bisa seabai itu hingga memilih mengkhianati suara batinnya.

Menutup bacaan yang ilmunya sudah tak bisa terserap dengan baik, Narua memilih bangkit. Ingatan akan seragam yang kemarin sedikit basah dan lekas ia cuci mau tak mau membuatnya secara mendadak perlu menyetrika seragam serupa yang ia simpan secara khusus. Belum sampai alat setrika itu memanas, ketukan pintu dari kamar terdengar. Tapi, hal itu tak sedikitpun membuatnya sekadar menoleh. Sebab, tanpa harus menebak Narua sudah tahu siapa sosok di balik pintu kamarnya. Jelas itu bukan Ghasta yang harus repot-repot sepagi ini mengetuk pintu kamarnya; jelas bukan sosok yang ia panggil papa yang lebih sering menyuruh Ghasta memanggilkannya untuk ke ruang kerja jika ada sesuatu yang hendak disampaikan papa. Dan, jelas pula bukan bibi yang sebelum mengetuk pintu kamarnya akan memanggil namanya terlebih dahulu.

Dalam hitungan detik, Narua pun sudah tahu jika pintu kamarnya akan terbuka sebelum ia sendiri bahkan harus berbicara. Lewat ekor matanya, ia bisa melihat jika mama kini tengah berdiri dalam balutan jaket navy lengkap dengan sling bag yang sudah tersampir di salah satu bahunya; khas jika hendak pergi.

"Ghasta sakit."

Ada ruang tanpa suara yang menjadi jeda, tapi Narua juga membiarkannya. Seperti yang sudah-sudah, dengan mama ia hanya akan berbicara jika ditanya.

Soal Ghasta yang sakit, bohong jika tak ada rasa khawatir di hatinya karena saat sesak itu menyapa ia pernah melihat dengan jelas betapa tersiksanya saudara tirinya. Ghasta itu punya asma yang jika musim hujan pembawa hawa dingin tiba akan lebih gampang kambuhnya. Terlebih, di saat-saat perubahan suhu ekstrem yang paginya cerah, siang panas, dan tiba-tiba saja awan hitam membayurkan titik-titik airnya.

"Duplikat kunci rumah di laci biasanya. Papa kamu ngasih uang buat jajan. Jadi, mama harap kamu bisa inisiatif sendiri buat cari sarapan. Kalau magg mu kambuh lagi, nanti mama yang bakal kena."

Narua LakarunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang