Lembar Empat

81 11 5
                                    

Malam yang dingin menjadi panas bagi Narua. Firasatnya memang sudah tak enak sejak berhadapan dengan eyang di meja makan tadi. Saat makan malam, tidak ada hal tak mengenakan yang eyang bicarakan. Bahkan hanya ada hening kecuali obrolan ramah antara eyang dengan Ghasta. Hingga akhirnya perintah eyang yang meminta dipijat di penghujung makan malam mengawali suasana tak nyaman yang Narua rasakan.

Bukan ia enggan melakukannya. Boleh tidak ia berprasangka buruk bahwa motivasi eyang sebenarnya bukan soal permintaan untuk dipijat, melainkan sebab maksud lain yang sudah bisa ditebak seperti biasanya.

Mencoba menyimpan lebih dulu prasangkanya, Narua langsung sigap tanpa menunda-nunda. Tanpa ragu cowok itu mendekat ke tempat Eyang yang tengah duduk di sofa sambil mengoperasikan ponselnya.

Tatapan Eyang yang menyipit kini menyambut kedatangannya dan setelah itu pula cowok itu melihat Eyang yang kemudian meletakkan gawai miliknya.

"Sebenarnya dari dulu saya kurang sreg nyuruh kamu. Tapi yang di sini kamu, jadi mau bagaimana lagi."

Itu ucapan yang Narua dengar usai Eyang mengarahkannya untuk memijat bagian pundak. Entah bagaimana raut wajah Eyang ia tak tahu sebab posisi Eyang duduk di sofa sedangkan ia sendiri berdiri di belakangnya. Menahan rasa tak nyaman, kedua tangannya tetap berusaha memberikan pijatan yang tak dipaksakan.

Eyang memang seperti itu. Menyebut 'saya' jika berbicara dengannya. Tak seperti dengan yang lain. Sebenarnya siapapun tahu jika Eyang memang selalu memperlakukannya secara 'khusus'. Sebab semua itu dilakukan secara terang-terangan dan sengaja.

"Kamu tau? Amira tantemu baru saja kasih kabar. Vien dapat penghargaan lagi. Memang kalau buah nggak jatuh jauh dari pohonnya."

Kalau tentang Vien, ia adalah anak perempuan tunggal Tante Amira. Usianya bisa dibilang sepantaran dengan Ghasta. Kalau eyang mengatakan buah tak jatuh jauh dari pohonnya memang benar, sebab selain berbakat Vien juga memiliki hati yang tulus sama seperti Tanta Amira.

Tapi bukan di situ poin utama dari perkataan Eyang. Karena jika Eyang sudah berkata demikian, maka dimulai sudah sesi perbandingan.

"Mamanya dari dulu memang nggak pernah ngecewain. Selalu nurut sama ucapan saya, jadi nggak heran jalan hidupnya mulus."

Sebenarnya kalau Eyang membandingkannya dengan Vien, ia masih bisa menerima. Vien yang lebih muda darinya dan sudah ia anggap seperti adik sendiri tak dapat menyelipkan setitik iri di hatinya. Juga jika terkait dengan pencapaian, ia justru bangga sebab Vien memanglah berbakat. Narua pikir itu sudah menjadi kelebihannya. Dan persoalannya hanya di Eyang yang memang tak pernah berniat meliriknya. Karena jika soal pencapaian, ia pikir medali dan penghargaan di bidang akademik juga layak disandingkan dengan milik Vien.

Tapi kalau itu sudah mengarah untuk mama, batinnya terasa tersentil meskipun hubungan nya dengan mama rasanya juga hampa. Tapi yang berbicara saat ini adalah Eyang. Sudah sepantasnya jika ia menahan diri agar kuat mendengarkan tanpa terpancing untuk membalas.

"Rangking mu turun 'kan? Nggak perlu gengsi buat ikut les. Selagi ada yang tanggung jawab biayain dimanfaatin. Masih beruntung kamu punya orang tua seperti Dafa yang paham sama semua kebutuhan kamu. Memang apalagi yang mau diharapin dari ayahmu yang nggak bertanggung jawab itu. Haduh, nyebut dia aja sudah bikin kepala saya pening."

"Sok sekali jadi orang, modal harta warisan orang tua. Nggak sreg saya dari dulu. Nyesel saya pernah ketipu topeng dombanya yang aslinya serigala."

"Kamu denger saya ngomong 'kan?" Itu adalah pertanyaan Eyang setelah menepis tangannya. Berhenti sejenak, Narua pikir ia seperti orang tak kebingungan di belakang Eyang.

"Saya juga nggak berharap apa-apa." Balasnya memilih mengalah.

"Saya tau, kamu pasti malu punya orang tua nggak bertanggung jawab seperti dia yang dulu justru sering kamu bela sampai-sampai ngelawan saya."

Narua LakarunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang