Bab 1 : Tersesat

105 6 0
                                    

"Ini jalannya yang bener, yang mana?" tanya Satria saat mobil yang ia kendarai berada di persimpangan jalan dengan arah panah penunjuk jalan yang sudah tak berbentuk. Bahkan sudah terlihat lapuk.

"Hadeh! Coba telpon Intan aja!" saran Tika yang duduk tepat di samping Satria.

"Gak ada sinyal," ucap Lidya yang duduk di tengah, di sisinya Faisal melongok, menatap ponsel gadis itu dan mencoba menggunakan ponselnya.

"Bener, gak ada sinyal di sini," ucapnya kemudian.

"Lah terus gimana?" tanya Arin yang duduk di bangku belakang sendirian.

"Ikut insting aja!"

"Gila Tik, kalau kesasar gimana?"

"Ya, gitu Lid."

Tika terkekeh, sementara Lidya menggeleng pelan melihat tingkah sahabatnya itu.

"Lagian Intan nikahannya di pelosok bener. Mana udah malam gini, kita gak mungkin balik lagi, kan? Jalan masuknya aja jauh banget tadi," ujar Satria yang diiyakan oleh keempat sahabatnya yang lain.

"Yaudah voting aja, milih kanan atau kiri," usul Arin kemudian.

"Bisa gitu?" Faisal menoleh ke belakang tempat gadis itu duduk.

"Mau gimana lagi coba? Nunggu sinyal ada, nunggu pagi  datang? Ini area hutan, kalau ada binatang buas gimana? Ya syukur-syukur kita ketemu Desa berpenghuni dulu. Kalau misalnya salah jalan bisa di sana dulu terus kita balik lagi ke sini dan lewati jalan ini."

"Ide bagus, gue kanan." Faisal bersuara.

"Kiri deh," ucap Tika.

"Kiri aja, kayaknya itu jalan yang bener deh." Lidya memberi usul.

"Kanan," ujar Satria

"Kanan," tukas Arin

"Oke karena kanan paling banyak, kita pilih lewat jalan kanan aja." Satria memutuskan..

"Gue gak tahu ya tapi perasaan gue mulai gak enak sekarang," ucap Lidya di tengah perjalanan.

"Gak enak kenapa Lid?" tanya Arin.

Lidya angkat bahu. "Gak tahu, firasat gue jelek aja."

"Mungkin belum makan kali."

"Ya kali, Rin!" protes Lidya.

Mobil mereka berbelok ke kanan, menyusuri jalanan penuh pepohonan yang tinggi. Jalanan sepi dan lengang serta penerangan hanya berasal dari mobil yang mereka kendarai membuat kesan menyeramkan semakin kentara.

Beberapa kali di bangku belakang Arin terus mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Sembari menolehkan kepala ke sana ke mari.

Sesaat pandangannya tertuju pada suatu pohon yang agak besar di pinggir jalan. Ia mengerutkan dahi, mengucek matanya berkali-kali.

Ia tidak salah lihatkan?

Itu wanita dengan pakaian merah di balik pohon sedang melambaikan tangan ke arahnya.

"Sal! Faisal!" panggil Arin kemudian tanpa mengalihkan pandangan dari sosok itu. Tangannya menepuk-nepuk pundak Faisal hingga lelaki itu menoleh.

"Apaan, Rin?"

"Lo lihat itu, gak?" tunjuk Arin pada sosok tersebut. Faisal mengikuti arah yang ditunjuk Arin.

"Mana?"

"Itu!"

"Gak ada siapa-siapa, Rin. Jangan bikin takut deh, apa sih yang lo lihat?" tukas Lidya yang juga sedang memperhatikan hal yang sama.

"Ih mata lo semua katarak, ya? Gak lihat ada perempuan di balik pohon itu lagi lambai-lambaikan tangan?"

Ciiit!

Arin sontak terhuyung ke depan, bersamaan dengan Faisal dan Lidya yang tak berpegangan sedari tadi. Ketiganya menoleh ke depan. Menatap Satria yang mengemudi dengan sengit.

"Sat, kenapa tiba-tiba berhenti?"

"Lo gak lihat barusan ada yang nyebrang tadi?" ucap Tika sama shock nya dengan Satria yang menyetir.

"Memangnya apa yang lewat?" tanya Faisal.

"Ya gak tahu. Tiba-tiba aja ngelintas buat kaget jadi gue ngerem mendadak," jawab Satria.

"Please, firasat gue gak enak. Kayak pertanda kita gak boleh jalan lagi gak sih." Lidya lagi-lagi mengucapkan hal yang sama.

"Eh, mana ada kayak begituan. Mending lihat dulu mana tahu ada hewan yang ngelintas terus ketabrak," usul Arin.

"Lo yang lihat coba Sal!"

"Gue sendiri?"

"Yaudah bareng gue," ucap Lidya. Keduanya sontak turun dari mobil, mengintip ke bawah kolong dan tak melihat ada apa-apa di sana.

Lidya memberi isyarat dengan menyilangkan dua tangannya di depan tubuh dari luar mobil membuat ketiga temannya bernafas lega.

"Udah Lid, ayo masuk! Lama-lama seram juga di sini," ujar Faisal.

Liday mengangguk, berjalan mendekati mobil dan hendak membuka pintu

Srak! Srak!

Ia menoleh seketika, semak-semak ilalang di belakangnya bergoyang diantara pohon besar. Hal itu menarik perhatiannya. Seolah ada sesuatu yang sedang mengintip mereka dari sana.

"Lid, ayo masuk!" perintah Tika. "Lo lihatin apaan dah?"

"Gak, itu kayak ada yang ...."

Lidya menggeleng, menatap lekat padang ilalang itu yang tak lagi bergoyang. Ia menghiraukan hal itu dan masuk ke dalam mobil.

Kendaraan itu melaju kembali dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan hingga sampai di pemukiman yang agak terpelosok. Bangunan-bangunan yang tampak kuno karena masih beratapkan daun kelapa.

"Ini Desa Intan?" tanya Tika penasaran sembari celingukan. Desa itu begitu sepi seolah tak berpenghuni.

"Kayaknya gak mungkin deh."

"Jadi gimana? Mau turun atau putar balik?"

"Lihat, itu ada warga, tanya aja coba!" tunjuk Faisal pada seorang warga yang terlihat mengintip dari balik tembok rumah.

Lalu, sesaat kemudian, beberapa warga lain mulai bermunculan. Satu persatu mendekati mobil mereka, mengerumuni dari beberapa sisi.

"Gue berusaha gak berpikir negatif, tapi kenapa mereka semua bawa pisau dan senjata tajam?" tukas Arin membuat keempat temannya menegang.

Desa KanibalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang