Bab 7 : Tertangkap

32 4 0
                                    

"Tidak ada! Padahal darahnya ada di sini!" ucap seorang warga yang membawa obor itu saat menyorot pohon berlubang di hadapannya. Tidak ada apa-apa di sana.

Arin menghembuskan nafas lega. Merasa di antara hidup dan mati. Ia sudah menahan nafas selama mungkin saat salah satu warga menemukan tempat persembunyian awalnya tadi.

Untung saja pohon tempatnya bersembunyi itu memiliki lubang panjang yang menghubungkan ke sebuah jurang kecil di dekat tebing.

Diam-diam, sebelum warga itu dekat ke arahnya, ia berjalan merangkak melalui lubang dalam pohon itu dan bersembunyi di tepi jurang kecil sembari berpegangan pada sebuah akar.

Luka di pergelangan tangannya kian melebar, ringisan terus keluar dari bibirnya. Sebisa mungkin ia menahan sakit, walau darah dari goresan yang cukup lebar itu mulai menetes.

Ia berusaha menajamkan telinga. Sudah cukup lama ia berada di tempat persembunyiannya kini. Apakah dua orang warga Desa aneh yang mengejarnya itu sudah pergi?

Arin tidak bisa berlama-lama di sini. Tangannya sudah terasa kebas, perih akibat luka tusukan anak panah juga tak bisa membuatnya berlama-lama menggantung pada akar. Bisa-bisa ia terjatuh karena ke jurang gelap sana karena daya tahannya yang kurang.

Sementara itu tanpa sepengetahuan Arin, warga yang sedang mencari keberadaan wanita itu menyoroti lubang pohon di mana wanita itu tadi bersembunyi dengan obor. Menelisik tempat itu dengan mata tajam.

"Makanan kabur," ucap seorang warga yang memegang panah.

"Sst! Sepertinya tidak cukup jauh," tukas warga yang memegang obor itu. Mendekat ke lubang dan memberhatikan lubang memanjang di dalam pohon yang mengarah ke suatu tempat. Mata tajamnya menemukan sebercak darah yang menetes dalam lorong lubang pohon itu, berbaris mengikuti panjang pohon.

Keduanya berjalan perlahan, saling beriringan. Lantas saat menemukan di mana jejak darah itu berhenti, kedua warga saling pandang dan menyeringai.

"Makanan itu benar-benar di sini. Kita harus mendapatkannya kalau tidak mau di marahi ketua."

"Dia sembunyi di dalam?"

"Tidak, dia merangkak melalui lubang pohon ini." tunjuk warga yang memegang obor dengan telunjuknya itu. "Ke sana!" bisiknya pelan menunjuk jurang kecil di ujung pohon yang tumbang.

Dua warga itu dengan langkah perlahan mendekat. Warga yang membawa panah siap dengan busur dan anak panah yang siap melesat.

Di sisi lain, Arin yang sudah terlalu lama bergantung di akar pohon mulai kelelahan. Pikirnya, ini sudah cukup.

Seharusnya warga aneh yang mengejarnya tadi sudah pergi.

Perlahan sembari menahan sakit pada luka di tangan. Ia mulai menarik diri dengan paksa, naik ke atas jurang, mendekat ke arah pohon di mana ia datang tadi untuk ia gunakan sebagai jalan keluar.

Namun, belum sempat Arin melewati jalan itu, seberkas cahaya kekuningan yang menyinarinya dari atas lantas membuat ia mendongak. Tubuhnya gemetaran saat dua pasang mata itu menatapnya dengan seringai tajam.

Craatt!

"Arrrgh!"

Anak panah itu melesat, tepat ke arah pundak Arin, gadis itu tak sempat menghindar. Anak panah itu menancap dalam menimbulkan rasa perih tak berkesudahan. Daging tubuhnya terkoyak oleh anak panah tajam nan berkarat.

Arin berteriak pilu, memegangi lukanya yang menganga lebar. Belum sembuh luka satunya, ia malah mendapatkan luka yang lain lagi.

Sesaat karena rasa sakit itu membuat pegangan tangannya terlepas dari akar pohon. Untungnya dengan satu tangan lain ia bisa meraih akar pohon yang menjuntai. Sayangnya itu tangan yang tergores di ranting pohon tadi. Perih mengiris membuatnya memejam sesaat.

"Tangkap rambutnya!" perintah warga yang memegang obor.

Tak membiarkan Arin sempat kabur, warga dengan busur panah itu sigap menarik kasar rambut Arin hingga ia menjerit kesakitan. Tarikan itu sangat kuat hingga ia merasa kulit kepalanya mengelupas.

"Lepaskan!" teriak Arin keras, meronta. Namun itu malah membuat tarikan di rambutnya semakin kuat. Bahkan sampai merasa tubuhnya tertarik ke atas.

Jleb!

"Arrrghhh!" Air mata Arin mengalir saat warga yang memegang obor itu menarik paksa anak panah yang menancap di pundaknya.

Air matanya mengalir bersamaan dengan sakit yang ia rasakan. Arin meraung, rasanya ia seperti akan mati. Dua orang itu sangat tidak berprikemanusiaan.

Bagaimana bisa ada seseorang yang dengan sadar menusuk orang lain dengan wajah tanpa bersalah.

Gila!

Arin terjebak di tempat orang-orang yang berkelakuan gila! Mereka orang-orang tidak waras.

Arin menatap pundaknya yang terluka, lantas meringis saat melihat dagingnya terkelupas, darah mengalir deras. Dengan menjijikkan warga dengan obor di tangan itu menjilati ujung anak panah yang menancap di pundak Arin.

Pegangan tangan Arin melemah, dua orang itu menyeretnya dari bawah ke atas dengan menarik rambutnya begitu saja.

"Daging manusia memang seenak ini!" tukas warga yang membawa obor.

"Jangan mencicipi duluan, kau bisa dimarahi ketua. Kita harus bawa dia untuk dimasak ramai-ramai!"

Kedua orang itu mencoba mengikat Arin yang terus meronta. Sementara gadis itu berusaha untuk melarikan diri rambutnya terus di tarik hingga ia terhuyung ke belakang.

"Ku mohon jangan apa-apa kan, aku!" seru Arin pilu. Tubuhnya sudah kesakitan. Tak pernah lebih sakit dari ini tapi kedua orang di hadapannya malah saling menatap seolah tak mengerti ucapan Arin.

Di sisi lain, Faisal yang telah ditinggalkan oleh Satria, Lidya dan Tika masih berdiri di depan gua tempat bersembunyi tadi. Pikirannya diliputi rasa bimbang antara menyusul Satria atau pergi ke arah berlawanan.

Faisal memilih, hemdak pergi ke arah berlawanan. Namun suara teriakan yang ia dengar dari hutan gelap di hadapannya membuat seketika bulu kuduknya meremang.

"Suara yang sama," ucap Faisal. "Seperti yang tadi kami dengar dalam gua. Sebenarnya suara siapa ...?" bisiknya penuh penasaran.

Suara itulah yang menyelamatkan mereka tadi. Orang-orang dari Desa aneh itu keburu pergi sebelum sempat menemukan mereka.

Faisal berjalan perlahan menuju asal suara yang terdengar semakin jelas. Rintihan dan suara kesakitan itu membuat  langkahnya kian dekat dengan detak jantung berdebar keras.

Faisal meraba, sebuah pohon yang tumbang dengan arah melintang hampir membuatnya terjatuh. Ia berjalan semakin jauh. Nyala api bercahaya kekuningan dari arah depan sana kini tampak menarik perhatian.

Lalu, kakinya mulai melemas, matanya terbelalak saat melihat apa yang ada di depannya saat ini. Ia menutup mulut dan cepat bersembunyi di balik pohon.

Ia tidak salah lihat.

Benar, kan, yang ia lihat itu adalah Arin?

Sahabatnya itu tengah merintih kesakitan dan sedang diikat oleh dua warga Desa aneh yang mengejar mereka tadi. Apa mau mereka sebenarnya?

Lantas, Faisal jadi teringat. Bagaimana dengan keadaan Satria, Lidya dan Tika yang sudah terlanjur berbalik arah? Sedangkan Arin ada di sini.

Desa KanibalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang