Bab 4 : Lari!

39 5 0
                                    

Keringat membanjiri tubuh. Perasaan takut dan gelisah membuat kelimanya berusaha mencabut tiang-tiang itu dengan tangan gemetar. Apalagi suara tiga orang warga di luar sana terasa semakin mendekat.

"Satu lagi," tukas Faisal geregetan. Pasalnya satu tiang ini sulit dicabut. Ia terus berusaha dengan keras tapi hasilnya sungguh nihil. Jangankan tercabut bahkan tiang itu tak bergerak sedikitpun.

"Ayo bantuin!" ajak Tika pada teman-temannya yang lain. Ia ikut menarik tiang yang sayangnya susah sekali untuk ditarik itu.

Lidya, Arin dan Satria ikut membantu. Tiang itu tak bergerak sama sekali.

"Ayo dong!" Arin kesal, tangannya mulai licin karena keringat. Jantungnya berdegup kencang karena rasa gugup juga takut menyelimuti.

"Sat, coba tiang yang lain, kita gak bakal bisa keluar kalau terpaku sama yang ini aja."

Lidya mengusulkan, tahu hal yang mereka perbuat hanyalah sia-sia belaka. Satria mengangguk beralih pada tiang yang lainnga.

Lidya sekilas menoleh ke arah pintu masuk. Bayangan tiga orang warga yang tampak di bawah temaram obor api, telah mendekat ke arah gubuk yang mengunci mereka.

Bungi gemerincing kunci yang bergerak, membuat tubuh Lidya gemetaran. Ia membalikkan badan, membantu keempat temannya menarik tiang yang terkunci.

"Bisa!" seru Satria keras. Membuat keempat temannya sontak bernafas lega, namun hanya sebentar karena mereka secepatnya harus keluar dari tempat itu.

Tepat setelahnya pintu gubuk terbuka dari luar. Tiga warga melihat kelima anak muda itu berebutan keluar dari pintu keluar yang telah mereka buat sendiri.

"Makanan kita kabuuur!" seru salah satu warga dengan teriakan kuat membuat para warga yang lainnya bergegas datang dengan masing-masing senjata di tangan.

Satria, Faisal, Lidya, Tika dan Arin lari tergopoh-gopoh keluar dari gubuk dan masuk ke dalam hutan yang gelap di belakang gubuk tersebut. Kelimanya berlari sekuat tenaga kabur dari tempat itu.

Tak ada penerangan, hanya cahaya rembulan yang bersinar  cukup terang yang menjadi saksi dari aksi kelima anak muda itu berusaha melarikan diri. Tak peduli apa yang mereka   lewati, tak peduli apa yang mereka pijak. Bagi kelimanya hanya ada satu tujuan saat ini.

Pergi sejauh-jauhnya dan jangan sampai ditemukan warga-warga desa aneh yang mengejar mereka itu.

Para warga desa berbondong-bondong mengejar, dengan membawa obor api di tangan. Satria memimpin jalan, tak lagi ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Baginya, keselamatan diri sendiri lebih penting sekarang.

Tak peduli kaki yang menginjak ranting tajam atau pohon berduri, kelimanya berlari tanpa henti. Jarak pandang yang terbatas membuat kelimanya sesekali tersandung jatuh.

"Cepat! Cepat! Jangan sampe mereka nangkap kita!" seru Satria, tangannya dengan cepat menerobos ranting dan semak-semak yang menghalangi jalan.

Tubuhnya tergores banyak ranting tajam, tapi seolah tak merasakan sakit, Satria terus saja berlari tanpa henti. Ia tak menghiraukan rasa sakit yang dirasakan tubuhnya karena ketakutannya akan warga-warga itu lebih besar sekarang.

Tepat di belakang Satria ada Faisal, Tika, Lidya dan Arin mengikuti. Keempatnya berlari mengikuti Satria yang memimpin jalan dan mengikuti langkah lelaki itu sebisa mungkin.

Tak!

"Uwaaa!" Kelimanya menjerit bersamaan. Sebuah anak panah melesat, tepat di samping wajah Satria. Membuat laki-laki itu menghentikan langkah seketika. Panah itu menancap cukup dalam ke arah pohon di sampingnya.

Perbuatannya yang berhenti mendadak membuat keempat temannya berhenti seketika, hampir membuat keempatnya terjatuh.

Satria menoleh, para warga yang mendekat semakin banyak. Obor-obor yang mereka bawa membuat keberadaan Satria dan kawan-kawan terlihat jelas. Bayang-bayang para  warga yang banyak itu tampak menyeramkan di malam yang gelap gulita ini.

"Tika awas!" seru Satria dengan suara keras. Gadis itu menoleh dan reflek menunduk saat sebuah panah melesat dan menggores sedikit lengannya.

"Arrggh!" teriaknya kesakitan, meringis sembari memegangi lengannya yang mengeluarkan darah.

"Lari!" teriak Arin saat panah itu mulai melesat tak karuan. Kelimanya berusaha menghindar sebisa mungkin walau beberapa kali panah itu menggores kulit mereka.

Satria yang memimpin di depan merasa tak bisa membiarkan hal ini. Jika lari terus-terusan tenaga mereka akan cepat habis juga ada kemungkinan panah-panah itu akan menancap pada salah satu dari mereka.

Ia menelisik menatap hutan gelap itu untuk mencari tempat bersembunyi. Mendapati sebuah gua kecil yang ditutupi semak-semak liar. Satria menoleh sambil berlari. Menangkap tangan Tika yang berada di belakangnya.

"Ikuti aku!" serunya keras. Membawa teman yang ikut berlari di belakangnya juga berlari ke arah yang sama. Secepat kilat Satria berusaha masuk ke dalam gua tersebut dan bersembunyi.

Mereka masuk ke dalam gua kecil itu, berlindung di balik semak-semak yang tinggi. Deru nafas yang terengah-engah karena berlari tadi menjadi bergema di dalam gua. Mereka sebisa mungkin tak membuat suara yang berarti dengan harapan para warga desa itu tak menemukan keberadaan mereka.

Satria menoleh ke samping, mengisyaratkan teman-temannya untuk menunduk. Bunyi langkah kaki dari luar sana terdengar mendekat. Dari celah ilalang yang tinggi Satria dapat melihat beberapa warga berdiri tepat di depan mereka. Hanya berjarak sekitar dua meter.

Lidya berusaha menundukkan wajahnya, namun seekor kalajengking di dekat tangannya tiba-tiba membuat ia panik. Ia berusaha mundur saat kalajengking itu mendekat.

Namun, bukannya menjauh kalajengking itu malah semakin mempercepat langkah, mendekati tangannya.

"Aa--mmphh!" Baru saja akan menjerit karena kalajengking itu sudah naik ke tangannya, Faisal menutup mulut Lidya dengan erat.

Lelaki itu menggeleng, dengan cepat menyentakkan kalajengking itu hingga menjauh dari tangan Lidya.

Para warga yang berdiri di dekat mereka, menoleh seketika. Dua orang berjalan mendekat. Satu memegang sebuah panah dan yang satunya membawa obor.

Masing-masing menahan nafas, berusaha meminimalisir suara yang membuat para warga itu curiga. Deru degup jantung berdetak tak karuan saat langkah para warga semakin mendekat.

Cahaya obor yang bersinar terang masuk ke dalam gua. Membentuk bayang-bayang Satria dan yang lainnya tengah sembunyi.

Tika menggeleng, merapalkan doa dalam hati. Semoga ia dan teman-temannya masih diberi keselamatan. Keringan membanjiri  tubuh, ia bahkan hampit kencing di celana saking ketakutannya.

Langkah itu semakin dekat, seriring dengan detak jantung yang berdebar hebat. Masing-masing menunggu, antara pasrah menerima keadaan atau mencoba melawan jika  ketahuan. Itu adalah satu-satunya pilihan.

"Arrghhhh!"

Dua warga itu tersentak saling menoleh. Satria dan teman-temannya juga sama kagetnya. Teriakan melengking dari sebrang hutan lain.

Seketika, dua warga yang hendak mendekat berlari ke arah suara. Meninggalkan Satria dan yang lainnya begitu saja. Bernafas lega karena keadaan berbalik dan mereka masih selamat.

Namun, hanya sepersekian detik, karena satu kesadaran dari Faisal membuat masing-masing kini terdiam dengan wajah tegang. Saat ia menelisik satu persatu wajah temannya.

"Arin mana?"

Desa KanibalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang