"Hah?" Faisal, Lidya, Tika, dan Arin terkejut bersamaan. Saling pandang dengan raut bingung tanpa bisa berkata-kata.
"Ngapain Bapak itu ngunciin kita? Memangnya kita maling?" tukas Faisal akhirnya membuka suara, lelaki itu tampak kesal. Ia bangkit dan mencoba membuka pintu seperti yang Satria lakukan tadi.
Sesuai apa yang dikatakan Satria, pintu itu benar-benar terkunci dari luar. Meski Faisal sudah mencoba membuka pintu itu berulangkali namun hasilnya tetap saja nihil. Membuat ia menendang pintu tersebut saking kesalnya.
"Apa-apaan ini? Kenapa kita malah dikurung kayak begini?" ucap Faisal sembari mengacak rambutnya. Satria yang berdiri di sebelahnya juga tampak resah.
Sementara Lidya yang penasaran membuat ia melirik dari
celah daun kelapa. Mengintip keadaan di luar sana yang tampak terang benderang dengan api menyala di tengah-tengah halaman.Api itu berkobar besar, dikelilingi oleh warga yang ia lihat mengerumuni mereka tadi. Wajah-wajah itu tampak bersuka cita. Apalagi saat beberapa warga lain tampak mengangkat kuali besar dan menaruh di atas api berkobar itu selayaknya sebuah kompor.
Seperti sedang ada sebuah pesta di sana. Tapi, pesta apa? Pernikahan Intan? Lidya bahkan tak melihat adanya pelaminan yang berdiri di sana.
Lalu, api dan kompor itu ...?
Atau jangan-jangan ....
Detak jantung Lidya mulai berdebar keras, apalagi saat di sisi lain para warga yang lain juga sedang mengasah pisau. Mempertajam beberapa senjata tajam yang mereka bawa tadi.
Sumpah, perasaan Lidya semakin tak enak. Seolah warga-warga desa itu sedang menyiapkan peyambutan karena kedatangan mereka. Tapi bukan untuk sukacita, tidak mungkin seorang tamu yang hendak disambut dikurung seperti binatang seperti mereka sekarang.
"Kayaknya kita mesti pergi, deh," ucap Lidya kemudian dengan keringat membanjiri tubuh, ia sudah mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.
Tika yang sedari tadi menatap kebingungan teman-temannya mulai maju ingin melihat apa yang Lidya lihat hingga wajahnya berubah pucat sekarang. Bahkan tanpa bicara, melalui tatapan mata ia tahu apa yang dipikirkan Lidya, sahabatnya itu.
Arin yang sedari tadi kesakitan berusaha bangkit, ingin tahu kenapa Tika dan Lidya tampak ketakutan sekarang. Tangan yang ia gunakan untuk menopang tubuh tak sengaja menyentuh sesuatu yang agak keras di bawahnya.
Arin menoleh, menatap bingung benda putih yang sudah tertanam cukup dalam di tanah yang ia duduki tadi. Pandangannya menelisik, berusaha mengeluarkan benda tersebut. Menatap benda itu lamat-lamat sebelum sadar akan sesuatu.
"Hiii!" serunya kaget, saat mengetahui benda putih itu adalah sebuah tulang. Ia melemparkannya begitu saja tepat di tengah-tengah Faisal, Satria dan Tika, Lidya. Hingga membuat keempatnya sontak bubar menjauh.
Keempatnya terperangah, menatap Arin lekat. Wajah gadis itu tak ubahnya seperti mayat hidup. Pucat luar biasa melebihi Lidya.
"K--kamu dapat itu dari mana Rin?" tanya Tika terbata, ia juga shock luar biasa. Melihat dari bentuknya, itu bukan tulang hewan biasa karena ukurannya dua kali lipat.
"A--aku tadi nyentuh tanah terus .... " Arin menunduk menatap tanah yang disentuhnya tadi. Lantas ia terbelalak kaget begitu melihat sesuatu yang lebih menyeramkan.
"Arrgh gila! Ada tengkorak di sini!" Arin melompat, berlari mendekati Satria dan berlindung di balik punggung lelaki itu. Tubuhnya gemetaran seketika setelah melihat wujud tengkorak yang menurutnya menyeramkan itu.
Sementara Faisal yang penasaran, mengikuti arah yang ditunjuk oleh Arin tadi. Degup jantung berdebar keras kala melihat sebuah tengkorak manusia tertanam sebagian di dalam tanah.
Tubuhnya gemetar hebat, mengibas-ngibaskan tanah itu dengan kakinya. Banyak tulang belulang berserakan berikut juga tengkorak manusia yang tidak hanya satu. Banyak, bertumpuk-tumpuk jadi satu di dalam tanah tersebut.
"Kayaknya kita datang ke tempat yang salah," ucap Faisal pelan. Ia berbalik menunjukkan hasil temuannya tadi hingga membuat keempat temannya menjerit tertahan sekaligus terperangah kaget.
Tak ada yang berbicara sampai beberapa detik kemudian. Kelimanya masih mencerna dengan baik apa yang sebenarnya terjadi di desa ini. Dari awal kedatangan mereka sampai sekarang semuanya terasa janggal.
Dari semua warga yang memegang senjata tajam saat mereka datang dan sekarang mengunci mereka di tempat seperti ini. Sudah pasti ini bukanlah niat baik.
"Firasat gue jelek, ayo keluar dari sini sekarang juga!" ucap Lidya dengan wajah pucat. Sejak melihat para warga desa yang seperti berpesta di luar sana dan melihat tulang-tulang dan kerangka manusia di dalam sini. Tempat yang mereka datangi bukanlah desa biasa.
"Gimana kita bisa keluar, pintunya dikunci dari luar," keluh Satria. Ia juga merasakan hal yang sama. Apalagi Arin mulai terisak di sebelahnya. Ia sibuk menenangkan gadis itu.
"Terus kita pasrah? Pasti ada cara lain. Gue gak tahu apa maksud mereka ngurung kita di tempat banyak tulang-tulang dan kerangka manusia di sini. Tapi satu hal yang gue yakini, ini pasti karena niat mereka udah jelek banget. Sampe sekarang Bapak yang janji bakal nemuin kita sama Intan juga gak balik-balik. Kita mesti kabur!" seru Lidya dengan kalut.
Ia sudah tak bisa berpikir jernih, hanya ada ketakutan demi ketakutan yang terus bermain dalam kepalanya. Juga pikiran buruk yang terus terngiang.
Faisal yang sedari tadi menyimak obrolan keempat temannya mulai menelisik ruangan itu. Ruangan segi empat yang ditutupi oleh daun-daun kelapa.
Faisal mulai berbalik, menuju sisi bagian belakang ruangan itu. Menyibak daun-daun kelapa yang menempel di tiang-tiang kayu yang sejajar.
Ia menggerak-gerakkan tiang kayu yang tertancap di tanah itu dengan kuat. Terlalu dalam, tapi tiang kayu itu mulai bergerak keluar.
"Yang lain bantu aku, kayaknya tiang-tiang yang nancap di tanah ini bisa kita tarik."
Keempat orang itu melangkah maju, berusaha membantu Faisal untuk menarik tiang kayu tersebut. Tiang tersebut copot bersamaan dengan kelimanya menarik secara bersamaan. Gubuk yang mereka tempati sedikit bergoyang. Namun celah setelah mencopot satu tiang itu tak bisa membuat mereka untuk keluar.
"Mungkin tiga tiang lagi bisa buat kita kabur dari sini. Sebelum warga aneh itu datang kita harus keluar!" ucap Faisal dengan keringat membanjiri tubuhnya.
Keempat temannya mengangguk. Namun, saat hendak mencopot tiang kedua Lidya berbalik, menoleh ke belakang, diam di tempat seraya menajamkan telinga.
"Kenapa, Lid?" tanya Arin saat melihat tingkah gadis itu.
"Aku kayak dengar sesuatu," bisiknya pelan. Jalan mengendap-endap menuju ruangan di sisi satunya yang dekat dengan pintu keluar. Mengintip dari celah daun kelapa yang menutupi gubuk.
Detak jantung Lidya mulai berdebar tak karuan. Tubuhnya gemetar luar biasa. Ia sontak mundur dan berlari membantu Faisal dan yang lainnya mencopot tiang-tiang itu dengan gerakan cepat.
"K--kita harus keluar dari sini, teman-teman. Ada tiga orang warga mendekat dengan pisau di tangan mereka sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Kanibal
Mystery / ThrillerAwalnya Satria, Faisal, Lidya, Tika dan Arin ingin pergi ke Desa tempat di mana sahabatnya menikah. Namun, di tengah jalan kelimanya malah tersesat. Petunjuk jalan yang rancu ditentukan oleh voting malah membuat kelimanya berada dalam celaka. Bagaim...